TEMPO Interaktif, Karawang - Ketua Umum Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia Batara Hutagalung menilai pemerintah Belanda sengaja berlama-lama mengurus gugatan warga Rawagede.
"Ada kesan mengulur-ulur sehingga sejumlah korban keburu meninggal," kata Batara saat ditemui Tempo di Karawang, Jumat, 9 Desember 2011.
Menurut Batara, pada 2008, mereka mengajukan sembilan nama korban Rawagede. Tapi hingga akhirnya pengadilan sipil memutuskan kemenangan korban pada 14 September 2011, korban yang bertahan tinggal enam orang. Satu korban luka tembak, Saih bin Sakam, meninggal pada 5 Mei 2011.
Tapi Batara bersyukur karena akhirnya kemenangan ada di tangan dan korban dapat kompensasi serta permintaan maaf. "Kami hargai itu meski banyak tuntutan yang belum dipenuhi," ujar dia.
Menurut Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman, awalnya ada 51 janda yang diajukan mendapatkan kompensasi pada 1990. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya menyusut hingga 28 orang, lalu menjadi sembilan orang pada 2008. Sembilan orang inilah yang maju ke Pengadilan Sipil Den Haag.
Ketika diputuskan pada tahun ini, jumlah orang yang menerima tinggal 6 orang. Meski hanya enam, tiga orang ahli waris lainnya juga mendapat kompensasi yang sama senilai US$ 20 ribu tiap bulan.
Berikut adalah sembilan nama penerima dana kompensasi:
1. Wisah binti Silain (alm): ahli waris Tasma,
2. Layem binti Murkin (alm): ahli waris Mustarwarjo,
3. Saih bin Sakam (alm): ahli waras Tasmin,
4. Wanti binti Dodo,
5. Taswi,
6. Tijeng binti Tasim,
7. Wanti binti Sariman,
8. Cawi binti Basian, dan
9. Lasmi Binti Kasilan.
DIANING SARI