TEMPO Interaktif, Makassar - Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) mengaku kesulitan mengumpulkan data korban pembantaian tentara Belanda pimpinan Raymond Paul Pierre Westerling. Peristiwa Westerling terjadi pada 1946-1947 di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan.
Mengenang peristiwa itu, Pemerintah Kota Makassar mendirikan Monumen Korban 40.000 Jiwa. Lembaga ini sebelumnya berhasil memenangkan gugatan keluarga korban pembantaian tentara Belanda di Rawagede, Jawa Barat, di pengadilan Belanda.
“Baru delapan janda korban Westerling yang saya pegang, kami kesulitan melakukan pendataan,” kata anggota pengurus KUKB, Ivonne, Sabtu, 10 Desember 2011.
Dari data yang telah dikumpulkan itu, Ivonne mengatakan, belum sesuai dengan jumlah korban pembantaian tentara Westerling. Sejumlah daerah yang menjadi lokasi pembantaian, seperti Makassar, Maros, Jeneponto, Bulukumba, dan Parepare, telah dikunjungi.
Kasus kekejaman Westerling, Ivonne mengungkapkan, akan ditangani Ketua Yayasan KUKB sekaligus pengacara korban pembantaian tentara Belanda di Rawagede, Liesbeth Zegveld.
“Saya menunggu ibu Zegveld, besok (hari ini) menghadiri upacara di Monumen Korban 40 Ribu Jiwa bersama pejabat daerah setempat, kemudian mengunjungi para korban westerling,” ujar Ivonne.
Sejarawan Universitas Negeri Makassar, Profesor Andi Ima Kesuma, menilai peristiwa Westerling telah lama menjadi perhatian publik. Namun tidak mendapat perhatian dari pemerintah daerah dan pusat.
"Saya mau pemerintah di daerah ini fokus memperhatikan hal itu. Jangan hanya sibuk mengurus politik, tapi aspek kesejarahan kita dilupakan. Jika tragedi Rawagede bisa diterima di pengadilan Belanda, bukan tidak mungkin peristiwa Westerling juga demikian,” kata Andi.
Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin menilai harus ada keluarga korban yang memikirkan upaya penuntutan ke pengadilan di Belanda. “Saya kira ini juga momentum yang baik untuk membuktikan keterkaitan dengan pembantaian tersebut,” kata Ilham.
ARDIANSYAH RAZAK BAKRI