TEMPO Interaktif, Jakarta - Draf revisi terbaru Rancangan Undang-Undang Intelijen Negara kembali menuai kritik. Meski disebutkan tidak ada pasal tentang penangkapan oleh badan intelijen, tapi dalam rancangan tersebut termuat aturan tentang penggalian informasi. Aturan ini terdapat di pasal 34 RUU Intelijen Negara.
Peneliti Institut untuk Demokrasi dan Perdamaian Setara, Ismail Hasani, mengatakan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan intensif atau penangkapan, sebelumnya sempat diganti dengan kata "pendalaman". Namun, kata itu kembali diganti dengan kata "penggalian informasi".
"Ini tetap saja merupakan manipulasi diksi. Hakikat penggalian informasi adalah memeriksa, meski ditegaskan tanpa penangkapan dan penahanan," kata dia di Jakarta, Rabu, 28 September 2011.
Untuk menggali informasi, kata Ismail, intelijen sebenarnya cukup berpijak pada kewenangan penyidikan sebagaimana diatur dalam pasal 6 di RUU yang sama. Ia pun meminta agar kewenangan "penggalian informasi" itu dihapus karena berpotensi melanggar hak asasi manusia, di samping akan tumpang tindih dengan kewenangan kepolisian.
Kritik lain diajukan terkait kewenangan melakukan penyadapan. Jika sebelumnya diatur secara longgar, draf revisi yang terbaru menyepakati penyadapan yang akan dilakukan intelijen akan tunduk pada undang-undang baru tentang penyadapan. DPR akan menyusun undang-undang ini secara khusus sesegera mungkin.
Tetapi, beberapa aturan tentang penyadapan di rancangan tersebut, menurut Ismail, justru mendahului undang-undang yang baru akan disusun itu. Misalnya, pada pasal 32 ayat 3 disebutkan penyadapan dilakukan terhadap sasaran yang telah mempunyai bukti awal cukup dengan memberitahukan kepada ketua pengadilan.
"Ini tentang mekanisme penyadapan. Sebaiknya diatur dalam UU Penyadapan. RUU ini cukup menyebutkan bahwa intelijen mempunyai kewenangan penyadapan dan bisa dijalankan jika UU Penyadapan telah dibentuk," kata Ismail.
Persoalan selanjutnya adalah terkait wewenang pengadilan yang terbatas. Pengadilan hanya diberitahu bahwa intelijen melakukan penyadapan, tapi pengadilan tidak memutuskan penyadapan itu dibutuhkan atau tidak sehingga tidak ada proses verifikasi balik atas tindak penyadapan tersebut. Hal itu, menurut Ismail, menggambarkan intelijen masih bisa bebas melakukan penyadapan.
KARTIKA CANDRA