TEMPO Interaktif, Jakarta - Gabungan sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendesak panitia kerja DPR menolak hasil kesepakatan rapat pimpinan ketua kelompok fraksi Komisi II dengan pemerintah. Hasil rapat itu terkait rancangan revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu.
Dalam rapat itu pemerintah dan kelompok komisi sepakat menghapus ketentuan Pasal 11 huruf i dan Pasal 86 huruf i yang melarang anggota partai politik menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Very Junaedi mengatakan penghapusan ini akan mencederai independensi penyelenggara pemilu.
"Sekaligus berpotensi mengganggu kelancaran Pemilu 2014," katanya di Jakarta, Rabu 7 September 2011. Koalisi juga meminta panitia kerja DPR segera mengambil kesepakatan untuk tetap mempertahankan ini agar pembahasan tidak berlarut-larut dan fokus pada penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu.
Desakan ini datang dari Indonesia Parliamentary Center, CETRO, Forum Masyarakat Peduli Pemilu Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, dan Sigma Indonesia.
Sebelumnya rapat pimpinan antara kelompok fraksi Komisi II dan pemerintah menyepakati dua hal. Pertama menghapus ketentuan mengenai larangan anggota partai menjadi anggota KPU dan Bawaslu. Kedua tentang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu diisi oleh perwakilan partai politik yang ada di DPR dan pemerintah, selain unsur penyelenggara dan tokoh masyarakat.
Peneliti CETRO Refly Harun mengatakan aturan yang melarang anggota KPU berasal dari partai dirancang untuk menciptakan pemilu independen. Setelah Pemilu 1999 semua unsur parpol diganti KPU yang sama sekali independen. Lalu ada kekecewaan terkait pelaksanaan Pemilu 2009 lalu.
Yang menyebabkan DPR mendesak anggota KPU dan Bawaslu dimasuki unsur partai. "Tapi sebenarnya KPU tidak ada kaitan dengan ini," katanya. Kualitas anggota KPU dan Bawaslu yang buruk, menurut dia, adalah kesalahan pemerintah dan DPR sendiri yang meloloskan kandidat yang tidak kompeten.
Mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti menilai aturan ini konyol. "Karena anggota dewan kehormatan tugasnya menegakkan kode etik. Syaratnya independensi, imparsialitas, dan nonpartisan," katanya. Ia menyangsikan anggota partai politik bisa bersikap independen dan nonpartisan. Pasalnya, secara alami anggota partai sudah pasti partisan dan cenderung melihat masalah pasti dengan sudut pandang kepentingan partai.
KARTIKA CANDRA