TEMPO Interaktif, Jakarta - Kontrak karya Freeport atas royalti penambangan emas kembali digugat. Gugatan ke meja hijau itu dilayangkan Indonesian Human Right Committe for Sosial Justice. Mereka menuntut tanggung jawab pemerintah menarik setoran royalti emas sebesar 3,75 persen yang tidak pernah dibayarkan Freeport.
"Yang dikenakan saat ini hanya satu persen," kata David Sitorus, pengacara dari Indonesian Human Right Committee setelah menghadiri sidang gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin.
Gugatan diajukan kepada empat lembaga sekaligus. Mereka adalah Presiden Republik Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Dewan Perwakilan Rakyat, dan PT Freeport Indonesia.
Menurut David, keempat lembaga itu patut dimintai pertanggungjawaban atas hilangnya potensi pemasukan negara dari sektor tambang yang nilainya diperkirakan mencapai US$ 256 atau sekitar Rp 2,3 triliun. Nilai itu dihitung menurut ketentuan tarif royalti emas yang berlaku sejak 31 Juli 2003.
Ketentuan royalti penambangan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dalam peraturan tersebut, royalti penambangan emas ditetapkan sebesar 3,75 persen dari harga jual kali tonase.
Menurut penggugat, ketentuan itu tidak pernah dijalankan Freeport. Tergugat berkukuh menggunakan ketentuan yang merujuk pada kontrak karya perpanjangan tahun 1991 yang hanya mewajibkan royalti sebesar satu persen. "Karenanya kontrak karya II antara pemerintah dengan Freeport harus dibatalkan," kata David.
Kuasa Hukum PT Freeport, Muhammad Farhan, yang ditemui setelah sidang enggan memberi komentar. Ia meminta wartawan meminta penjelasan melalui juru bicara Freeport, Ramdani Sirait. Hingga berita ini dibuat, Tempo belum bisa menghubungi Ramdani.
RIKY FERDIANTO