TEMPO Interaktif, Jakarta - PT Freeport diketahui hingga saat ini hanya membayar royalti emas sebesar 1 persen. Padahal, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menetapkan royalti emas sebesar 3,75 persen dari harga jual tonnase. Pembayaran royalti emas sebesar 1 persen karena Freeport mengacu pada perjanjian kontrak karya selama 30 tahun sejak 1991.
"Padahal royalti 3 persen saja sudah sangat rendah dibandingkan di negara-negara Afrika," ujar Ridwan Darmawan, Direktur Institute for Social Justice (ISOJU), usai melaporkan dugaan korupsi PT Freeport ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu, 15 Juni 2011.
Akibat selisih royalti yang seharusnya dibayar PT Freeport, negara berpotensi dirugikan sebesar US$ 245 juta, terhitung sejak 31 Juli 2003.
Ridwan menuturkan Freeport telah banyak merugikan Indonesia. Awalnya selama 25 tahun, Freeport tak pernah membayar royalti emas dalam Kontrak Karya pertama tahun 1967 untuk eksplorasi tembaga. Padahal, sejak 1978, selain terbukti mengeksplorasi tembaga, Freeport juga mengeksplorasi emas. "Yang mencengangkan, pemerintah tak memberi sanksi apa pun," ujarnya.
Apalagi, Ridwan menambahkan, laporan Kepala Unit Korupsi Internasional Biro Penyelidik Investigasi Amerika Serikat (FBI) Gery Johnson menuturkan bahwa sejumlah perusahaan Amerika Serikat yang beroperasi di Indonesia terindikasi korupsi kepada pejabat di Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan dalam Konferensi Internasional KPK-OECD di Nusa Dua Bali.
Menurut Ridwan, berdasarkan indikasi tersebut, patut diduga negara dirugikan keuangannya dengan kualifikasi Pasal 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Kami meminta Komisi segera menyelidiki kasus ini dengan memeriksa semua pihak terkait," ujarny lagi.
Pihak-pihak tersebut antara lain Menteri Energi Sumber Daya Mineral, pejabat PT Freeport, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan pejabat Kementerian Energi Sumber Daya Mineral masa lalu, hingga Presiden.
DIANING SARI