Menurut siaran pers dari Markas Besar TNI AU, pendaratan darurat itu terpaksa dilakukan oleh Kapten Pilot Letkol Penerbang (Pnb) Yadi Husyadi dan Kopilot (Co) Letkol Penerbang (Pnb) Nurulloh karena mesin nomor empat pesawat itu mengalami gangguan berupa kebocoran oli (Oil Leak). “Keputusan pilot mendaratkan pesawat di Darwin, selain merupakan bandara terdekat, di Darwin juga terdapat fasilitas lengkap untuk pendaratan darurat,” ujar Kadispen TNI AU, Marsekal Pertama TNI Imam Wahyudi, dalam siaran pers tersebut. Bila tidak ada gangguan, pesawat dengan nomor registrasi A-7002 itu sedianya dijadwalkan akan tiba di Sidney pukul 05.05 WIB atau 08.05 waktu Sydney.
Pesawat Boeing 707 TNI AU dari skadron udara 17 (VVIP/VIP) Lanud Halim Perdana Kusumah itu merupakan pesawat yang dirancang dan dipersiapkan untuk penerbangan jarak jauh. “Pesawat angkut bermesin jet itu diperoleh TNI AU dari Pelita Air Service tahun 1982 dalam bentuk hibah,” kata Kadispen. Selama ini, pesawat tersebut telah banyak melayani penerbangan jarak jauh, baik di dalam maupun luar negeri. Misi luar negeri yang pernah dilakukan di antaranya adalah pengiriman bantuan bahan makanan ke Rusia, Iran, penerbangan VIP ke Tibet serta yang terbaru penerbangan ke Bangkok, Thailand, 14 Mei 2001. Menjelang lepas landas ke Australia, pesawat Boeing 707 itu dinyatakan laik terbang.
Hingga siara pers diterima Tempo, penyebab gangguan di salah satu mesin pesawat tersebut masih dalam tahap penyelidikan. Menurut Kadispen, dalam hal pemeliharaan pesawat, khususnya pesawat VVIP/VIP, TNI AU menganut empat langkah pemeliharaan. Pertama, “Check A” yang dilakukan setiap 30 hari sekali, kedua “Check B” dalam setiap 120 hari sekali, “Check C” dalam setiap kurun waktu setahun sekali, dan “Check D” yang dilakukan sekali dalam delapan tahun.
Pesawat tersebut memiliki spesifikasi panjang badan 46,61 meter panjang rentang sayap 44,42 meter dan tinggi 12,93 meter yang digerakkan oleh 4 mesin EA Pratt & Whitney JT 3D-7 dengan jarak jelajah 12.030 kilometer serta mampu melakukan terbang non-stop selama 12,5 jam.
Sementara itu, menurut sumber Tempo, pesawat Boeing jenis 707 tersebut adalah satu-satunya milik TNI AU. Satu hal yang memberatkan, kata sumber itu, adalah biaya operasional yang dikeluarkan untuk pesawat tersebut relatif sangat tinggi jika dibandingkan dengan pesawat dari jenis Hercules maupun Fokker F-28.
Menurut sumber itu, alasan Presiden Wahid memilih pesawat Boeing 707 milik TNI AU adalah karena biaya perjalanan yang dikeluarkan bisa dihemat jika dibandingkan menggunakan maskapai penerbangan lain.
Sumber tersebut menampik adanya anggapan bahwa kerusakan yang terjadi di pesawat tersebut lebih diakibatkan karena kesulitan onderdil lantaran pemberlakukan embargo terhadap Indonesia dari AS dan negara-negara Eropa. “Untuk pesawat angkut, efek dari embargo sudah tidak ada lagi, tapi mungkin masih terasa untuk spare part bagi pesawat jenis tempur,” kata dia.
Pada bagian informasinya, sumber itu menyayangkan penggunaan pesawat jenis Boeing 707 yang dapat memuat penumpang hingga 200 orang lebih. Padahal, rombongan Presiden hanya terdiri sekitar 40 orang saja. “Kenapa tidak menggunakan pesawat Fokker saja, kan jadi nggak boros,” kata sumber itu. Meskipun demikian, dia menjelaskan bahwa perbedaan mencolok antara Boeing 707 yang direncanakan akan tiba kembali di Jakarta besok itu dengan pesawat Fokker yang dimaksud adalah dari kemampuan jelajahnya. Untuk Fokker, kata dia, harus melakukan transit setidaknya dua kali sebelum mencapai Sydney. Sedangkan, Boeing 707 bisa mencapai Sydney secara non-stop tanpa perlu transit. (Arinto Wiryoto)