Menurut Mahfud, ancaman datang menjelang putusan perkara judicial review yang diajukan bekas Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra itu.
Pada suatu hari, Mahfud menuturkan, ada seseorang mendatanginya. Orang itu meminta Mahkamah menyatakan jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji sah sampai akhir masa jabatannya. Jabatan Jaksa Agung, kata orang itu, hanya berakhir sampai Presiden menerbitkan surat keputusan pemberhentian.
Seperti mengancam, menurut Mahfud, lawan bicaranya itu mengatakan, kalau Mahkamah Konstitusi menyatakan jabatan Hendarman ilegal, Indonesia bisa jadi ribut. Selain itu, menurut Mahfud, orang itu mengaku punya data hakim Mahkamah Konstitusi yang menerima suap. "Katanya, bukti itu A1 (meyakinkan)," ujar Mahfud.
Menurut Mahfud, orang yang mendatangi dirinya tak hanya menggertak dengan lisan. Dia menunjukkan bukti berupa kuitansi yang ditandatangani hakim konstitusi Akil Mochtar. "Dia bilang, hakim Anda, Akil Mochtar, pernah menerima uang di Kalimantan Barat untuk pemekaran daerah," ucapnya.
Menurut Mahfud, kuitansi itu ditandatangani pada 2003, saat Akil menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. "Itu bukan suap, tapi biaya jamuan tugas di Kalimantan," Mahfud menjelaskan kuitansi itu. Kasus tersebut, kata Mahfud, juga sudah selesai di Kejaksaan Agung.
Yusril mengajukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, setelah Kejaksaan Agung menetapkannya sebagai tersangka dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum. Pada 22 September lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Yusril. Akibatnya, jabatan Hendarman dinyatakan berakhir hari itu juga.
Pada bagian lain Mahfud mengatakan, sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sering tidak menunjukkan kepeduliannya terhadap penegakan hukum di Indonesia. Soalnya, Presiden selalu mengungkapkan bahwa dia tak bisa mengintervensi penegakan hukum.
Menurut Mahfud, pandangan Yudhoyono itu tidak tepat. "Presiden wajib ikut dalam penegakan hukum, yang akan dibantu Jaksa Agung dan Kepala Polri," kata Mahfud.
Campur tangan Presiden tentu saja bukan dalam proses peradilan. Presiden, menurut Mahfud, bisa campur tangan untuk mendorong aparat hukum lebih cepat menangani suatu kasus. Presiden juga bisa memaksimalkan peran Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum untuk memberi rekomendasi atas kasus-kasus tertentu.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan selama ini Presiden sudah ikut campur dalam penegakan hukum. Buktinya, dalam rapat-rapat, Presiden sering meminta Kepala Polri, menteri, dan Jaksa Agung menjelaskan perkembangan proses hukum suatu kasus. "Presiden bukan tidak peduli, tapi beliau menanyakan langsung kepada aparat. Tidak mengeksposnya," kata Djoko.
CORNILA DESYANA