TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof Dr Ichlasul Amal membantah telah menyamakan pengerahan massa untuk mendukung penetapan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY, Senin 13 Desember lalu, dengan Partai Komunis Indonesia atau PKI. Ichlasul hanya bermaksud menceritakan pengalamannya semasa mahasiswa dulu. ”Wah, (berita) ini ngawur. Bukan begitu maksud saya. Saya hanya menceritakan pengalaman saya,” kata Ichlasul kepada Tempo di kediamannya, Rabu 15 Desember 2010.
Ichlasul menceritakan saat masih mahasiswa dan berusia 21 tahun. Saat itu suasana sensitif lantaran menjelang Gerakan 30 September. Ketika ada pertemuan-pertemuan, semacam dewan rakyat, sering ditunggangi PKI untuk memperkuat kepentingannya. Paku Alam VIII yang saat itu menjadi pejabat sementara Gubernur DIY, sering kali di-fait accompli PKI dengan masyarakat. ”Paku Alam tidak bisa apa-apa. Yang sensitif, suasana waktu itu menjelang G30S, dimana seolah-olah Paku Alam digiring untuk pro PKI,” kata dia.
Dampaknya, mahasiswa saat itu menjadi antipati dengan Paku Alam. Banyak demonstrasi di Kepatihan. ”Makanya, saya tidak setuju (soal pengerahan massa pada tanggal 13 Desember 2010), karena mem-fait accompli gerakan massa di depan DPRD. Apa yang diharapkan dari DPRD?” ujarnya.
Terbukti, anggota Fraksi Partai Demokrat DPRD DIY yang tidak setuju dengan suara masyarakat yang mendukung penetapan, keluar dari ruang rapat paripurna. Bahkan kemudian masuk ke mobil polisi dan dikawal. ”Apa artinya? Karena takut pada massa. Enggak mungkin kemauan sendiri. Kalau kemauan sendiri pasti melenggang saja, tapi mengapa takut?” kata guru besar ilmu politik ini.
Ichlasul justru mempertanyakan mengapa harus membuat gerakan massa semacam itu yang malah membuat rakyat kecil merugi. Semisal, Pasar Beringharjo di kawasan Malioboro jadi ditutup. Akibatnya, pedagang Beringharjo merugi hingga Rp 7 miliar dalam sehari. Belum lagi buruh-buruh gendong yang bekerja satu hari untuk mendapatkan upah yang hanya dapat digunakan untuk hidup satu hari pula.
Bahkan dia menyangsikan, apakah benar para pedagang pasar Beringharjo dengan sukarela menutup pasarnya, atau apakah mereka benar-benar mengerti soal penetapan atau pemilihan. ”Yang penting bagi mereka dapat upah. Sukarela? Ah yang benar saja. Saya kan orang politik, saya ngerti itu,” kata dia.
PITO AGUSTIN RUDIANA