Neshyawati dan Zaimar-masing-masing putri dan adik ipar Arsyad--mengaku pernah berhubungan dengan calon Bupati Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud. Bahkan Zaimar mengaku sering menerima uang dari Dirwan karena hubungan pertemanan. Namun Arsyad mengatakan Dirwan mengunjungi apartemennya di Kemayoran, Jakarta, setelah putusan perkara.
Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Didi Irawadi Syamsuddin, mengatakan MK perlu membentuk Majelis Kehormatan untuk mencegah fitnah dan spekulasi negatif. “Semua pihak yang terkait berkesempatan membela diri dan klarifikasi,” kata Didi kemarin.
Desakan yang sama disampaikan pengamat hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Chalid Hamid. “Jangka panjangnya, DPR melakukan revisi Undang-Undang MK agar dimasukkan mekanisme pengawasan.”
Menurut mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Majelis Kehormatan bisa dibentuk atas tuntutan masyarakat. Menurut dia, keputusan yang berkaitan dengan kode etik hakim konstitusi harus diproses pengadilan etik.
Majelis Kehormatan, kata Jimly, bersifat ad hoc dan merepresentasikan kekuatan moralitas publik. “Pers pun bisa melakukan desakan untuk pembentukan majelis etik.” MK hingga kemarin belum merasa perlu membentuk Majelis Kehormatan. Alasannya, belum jelas siapa hakim yang bersalah. Sekretaris Jenderal MK, Janedjri M. Ghaffar, mengatakan tidak setiap aduan ditindaklanjuti dengan pembentukan Majelis Kehormatan. “Bukti-bukti itu kumpulkan dulu,” kata dia.
Menurut dia, berdasarkan Peraturan MK tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi, tak ada ketentuan kapan dibentuk Majelis Kehormatan.
Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi S.P., mengatakan lembaganya masih menelaah kasus dugaan percobaan penyuapan terhadap hakim MK itu. KPK ada kemungkinan akan memanggil dua hakim Konstitusi yang diduga menerima suap, yakni Arsyad dan Akil Mochtar.
Kasus itu bermula pada 18 Agustus 2009. Saat itu calon Bupati Bengkulu Selatan Darwin Mahmud mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun permohonan itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Saat itu hakim konstitusi Arsyad Sanusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Arsyad berpendapat seharusnya permohonan Dirwan dikabulkan sebagian.
SANDY INDRA PRATAMA | DIANING SARI | MAHARDIKA SATRIA HADI