"Warga pada umumnya merasa korupsi di Indonesia tinggi atau sangat tinggi," kata Ketua LSI, Burhanuddin Muhtadi dalam diskusi Ketidakpercayaan Publik pada Lembaga Pemberantasan Korupsi, Minggu (7/11).
Buruknya penilaian masyarakat akan penegakkan hukum juga disebabkan ketikdakpercayaan mereka terhadap institusi hukum di Indonesia. Bahkan masyarakat hanya mempercayai kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi. "Sekitar 15 persen dari 1.800 responden yang percaya KPK." Sedangkan kepercayaan masyarakat ke kepolisian, kejaksaan dan pengadilan berada di bawah titik nol. "Kepercayaan masyarakat ke kepolisian minus 15 persen," ujar Burhanuddin.
Rendahnya kepercayaan masyarakat ke lembaga hukum itu juga disebabkan ketidakmampuan institusi tersebut mencegah anggotanya melakukan korupsi. Masyarakat juga menilai kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan terlalu lemah terhadap koruptor. Jaksa, kata Burhanuddin, dianggap tidak terlalu berani menuntut pelaku kejahatan korupsi. "Hanya tiga persen responden yang menilai jaksa berani menuntut koruptor dengan adil." Penilaian yang sama juga diberikan kepada para hakim. "Sebanyak 41 persen responden menilai hakim tidak adil menghukum koruptor," ujarnya.
Mengenai banyaknya koruptor yang mendapat hukuman di bawah satu tahun, mendorong kekecewaan masyarakat. Karena itu mereka meminta koruptor dihukum seberat-beratnya. "Masyarakat ingin koruptor dihukum seumur hidup agar ada efek jera."
Menanggapi survei itu, sosiolog Universitas Indonesia Kastorius Sinaga setuju adanya perbaikan sistem lembaga hukum di Indonesia. "Kalau tidak diperbaiki, itu sama saja melembagakan korupsi," kata Kastorius dalam diskusi tersebut.
Namun Kastorius tidak setuju dengan ide penambahan hukuman bagi koruptor kalau sistem hukum tetap rentan dengan korupsi. "Hukuman berat, sistem korup, sama saja bohong," ujarnya.
Sedangkan pengamat hukum, Bambang Wijoyanto menilai koruptor tidak perlu diberi hukuman yang berat. "Yang diperlukan hukuman berefek jera," kata Bambang.
Calon pimpinan KPK itu mencontohkan hukuman jera dengan memberi sanksi sosial bagi koruptor, seperti membersihkan gorong-gorong di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, setiap hari. "Koruptor datang ke gorong-gorong dan pulang ke penjara diangkut mobil bak terbuka. Jadi mereka dihukum di depan publik."
Hukuman seperti itu, lanjut Bambang, akan memberi pelajaran untuk orang lain agar tidak korupsi. "Kalau hukuman mati, tidak ada efek jera dan malu, si koruptor bisa tenang karena hukuman bisa dia tawar," ujarnya.[]
CORNILA DESYANA