Usulan ini muncul akibat bebasnya sejumlah terpidana kasus korupsi (Syaukani dan Aulia Pohan) setelah menerima remisi dan grasi pada minggu lalu.
Ditemui Tempo usai pembacaan petisi "Kembalikan Negara Hukum, Selamatkan Polri" di depan gedung Mahkamah Konstitusi, Donal mengungkapkan, pemberian keringanan hukuman kepada koruptor atas alasan apa pun seharusnya tidak dilakukan. "Pemerintah beralasan pemberian remisi kepada Syaukani atas alasan kemanusiaan, tetapi perbuatan yang dilakukan Syaukani juga kejahatan kemanusiaan. Alasan kemanusiaan mana yang harus kita kedepankan?" ujarnya.
Selain itu, ICW juga menilai dalam pelaksanaannya, pemerintah seringkali menabrak aturan tentang pemberian remisi ini. Ia mencontohkan pemberian remisi kepada Aulia Pohan yang dinilainya cacat hukum. "Kalau kita lihat, pemberian remisi selama enamn bulan itu melanggar peraturan yang ada. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa pemberian remisi maksimal adalah dua bulan," ujarnya.
Karenanya, Donal mengaku dirinya dan beberapa aktivis penggiat anti korupsi lainnya saat ini sedang menggagas gerakan penghapusan keringanan hukuman bagi koruptor. "Ini penting untuk memastikan adanya efek jera dari para koruptor," ujarnya.
Disamping penghapusan keringanan hukuman, ICW juga saat ini tengah menggodok konsep yang diberinama pemiskinan. Secara garis umum, Donal menerangkan, koruptor nantinya akan diberikan denda yang sebesar-besarnya jika telah dinyatakan bersalah melakukan korupsi.
"Jadi nanti harta kekayaan yang bukan hasil korupsinya juga bisa jadi disita semua oleh negara," ujarnya.
Konsep seperti ini, kata dia, telah diadopsi di beberapa negara di dunia. Namun ia menyatakan konsep ini belum cukup matang. "Masih harus digodok lebih lanjut supaya tidak melanggar Hak Azasi Manusia," ujarnya.
FEBRIYAN