Menurut Perhimpunan, itu merupakan strategi CP Prima induk perusahaan PT. Aruna Wijaya Sakti mengatasi kesulitan keuangan. Tudingan para petambak itu dengan menghubungkan proses revitalasasi berjalan lamban.
“Baru lima dari 16 blok yang sudah direvitalisasi. Perbaikan kanal dan saluran air berjalan sangat lamban. Perusahaan seperti terengah-engah,” kata Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu Dipasena, Nafian Fais.
Nafian menghitung dengan dana segar dari sekitar 2.500 petambak yang telah menandatangani akad kredit sebesar Rp 126 juta itu bisa terkumpul sekitar Rp 3 trilyun. Terlebih, semua uang petambak dikelola perusahaan inti.
“Dengan dana sebesar itu, tidak ada gunanya perjanjian revitalisasi onsorsium Neptune –CP Prima dengan pemerintah. Untuk apa uang sebesar Rp 1,7 trilyun yang dijanjikan untuk revitalisasi,” katanya.
Menurut perjanjian jual-beli aset peninggalan Syamsul Nursalim itu, konsorsium mengambil alih Dipasena Group dengan banderol Rp 2,388 trilyun. Mereka hanya membayar Rp 688 milyar.
Sisanya, Rp 1,7 trilyun, dibayar dalam bentuk escrow account atau dana untuk merevitalisasi plasma dan perusahaan inti. Plasma berhak atas modal kerja, modal usaha serta perbaikan saluran air dan sarana umum.
Uang sebesar itu juga digunakan untuk memperbaiki, operasional, dan membyar hutang perusahaan. “Jadi jika mereka tidak melakukan revitalisasi, sebenarnya negara telah dirugikan,” katanya.
NUROCHMAN ARRAZIE