TEMPO Interaktif, Jakarta - Anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa mengatakan, perlu adanya revisi aturan Whistle Blower atau 'peniup pluit' sehingga kasus korupsi lebih banyak bisa diungkap.
Selama ini, kata dia, aturan itu hanya di pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). "Nggak mungkin kita membongkar korupsi skala besar kalau tidak dari informasi orang," katanya dalam diskusi "Pemberlakuan Mekanisme Pembuktian Terbalik dan Perlindungan Whistle Blower" di Gedung IASPH, Universitas Indonesia, Rabu (21/4).
Dia menambahkan pemberi informasi itu kadang-kadang juga berperan sebagai pelaku juga. "Sulit orang luar atau pengamat tapi ada saja pidana pembocoran informasi, pembocoran dokumen, sehingga dia terancam," ujarnya.
Ota panggilan akrab Mas Achmad memaparkan, dalam pasal 10 Undang Undang LPSK itu, bahwa partisipan whistle blower, kewenangannnya ada pada hakim dan hakim dapat memberi keringanan hukuman pada pelapor, sepanjang dia melakukan dengan itikad baik. Artinya, kata dia, menunggu hingga status terdakwa. "Kalau di luar negeri ada hukumnya pemberian keringanan, oke saya mau bongkar, tapi dibebasin."
Satuan Tugas, kata Ota, akan mengusulkan adanya revisi itu dengan pemerintah. Pemerintah kemudian berkomunikasi dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat melakukan revisi Undang-Undang LPSK.
Ketika ditanya perlindungan kepada mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji yang membongkar mafia hukum di Direktorat Pajak, Ota mengatakan perlindungan itu harus menunggu kesimpulan hakim dan kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan cacatan pengungkap itu non partisan. "Hal ini harus menunggu hasil pemeriksaan. Kalau dia non partisipan dia harus ke LPSK. kalau dia partisipan, berarti dia harus ke pengadilan sehingga nanti hakim yang memutuskan dapat keringanan atau tidak," ujarnya.
Anggota Satuan Tugas, Yunus Husein mengatakan perlindungan kepada pemberi informasi selain dalam Undang-Undang LPSK, juga diatur dalam Undang Undang Tindak Pidana Korupsi pasal 41. Namun, dia mengakui aturan itu tidak memberikan perlindungan yang cukup. Apalagi, ada tuntutan hukuman pidana bagi pembocor dokumen. "Tapi pelindungan khusus bagi pelapor terhadap ancaman fisik dilakukan kepolisian berdasarkan peraturan Kapolri," ujarnya.
Sedangkan, pembuktian terbalik, Yunus mengatakan bisa dilakukan dasarnya pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pembuktian itu, kata dia, bisa dilakukan oleh yang bersangkutan maupun oleh jaksa. Dia mengakui saat ini tidak ada pengaturan aturan ini dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Namun, dia menegaskan hal ini bisa dilakukan. "Sudah ada preseden di Karawang, pelaku money laudring," ujarnya.
EKO ARI WIBOWO