TEMPO.CO, Jakarta - Tim Advokasi Tolak Tambang, yang terdiri dari para tokoh, akademisi, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat, mengajukan permohonan uji materi atau judicial review Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 soal pemberian izin tambang ormas keagamaan ke Mahkamah Agung (MA) pada Selasa, 1 Oktober 2024.
“Secara umum, gugatan ini bagian dari niat baik kami untuk kemudian melakukan upaya korektif terhadap PP Nomor 25 Tahun 2024,” kata Salah satu pemohon, Wahyu Agung Perdana di Gedung MA, Jakarta Pusat, Selasa, 1 Oktober 2024.
Permohonan uji materi ini diajukan 18 pemohon yang terdiri dari 6 lembaga dan 12 individu. Sementara itu, Wahyu dan 11 orang lainnya ikut mengajukan permohonan judicial review sebagai individu. Lantas, siapa saja mereka?
Sebanyak enam kelembagaan yang mengajukan permohonan uji materi terdiri dari Lembaga Naladwipa Instutute for Social and Cultural Studies, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional, Perserikatan Solidaritas Perempuan, JATAM Sulawesi Tengah, Trend Asia, dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional.
Adapun 12 perorangan dari pengajuan permohonan uji materi adalah:
- Asman Aziz - Wakil Sekretaris Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Kalimantan Timur.
- Buyung Marajo - Koordinator Forum Himpunan Kelompok Kerja-30 (FH Pokja 30).
- Dwi Putra Kurniawan - Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Kalimantan.
- Inayah Wahid - Warga Masyarakat yang Peduli dengan Lingkungan Hidup.
- Kisworo Dwi Cahyono - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan.
- Mareta Sari - Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur.
- Masduki - Pengajar Universitas Islam Indonesia dan Inisiator Forum Cik Di Tiro
- Rika Iffati Farihah Wakil Ketua I Pengurus Pimpinan Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
- Sanaullaili - Anggota Bidang IV Kajian Politik Sumber Daya Alam, Lembaga Hikmah, dan Kebijakan Publik, Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
- Siti Maemunah - Anggota Badan Pengurus Jaringan Advokasi Tambang Nasional.
- Trigus Dodik Susilo - Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Trenggalek.
- Wahyu Agung Perdana - Kepala Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam Lembaga Hikmah, dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dalam permohonannya, Tim Advokasi Tolak Tambang menyebut bahwa aturan tambang untuk ormas cacat hukum. Sebab, kata Wahyu, PP tersebut menyalahi Pasal 75 ayat 3 dan ayat 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Izin tersebut seharusnya diberikan kepada BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta.
Wahyu menyatakan izin tambang ormas keagamaan juga menyalahi etika bernegara. “PP Nomor 25 Tahun 2024 bukan hanya cacat secara hukum, namun juga berpotensi menjadi arena transaksi suap politik,” ucap Wahyu, yang juga merupakan pengurus Ormas Muhammadiyah.
Sebelumnya, Tim advokasi, Wasingatu Zakiyah, menilai pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. “Karena upaya pemerintah mengeluarkan PP ini dilakukan secara konstitusional, maka rakyat pun memiliki hak untuk melakukan sanggahan atas peraturan ini secara konstitusional juga,” kata Zakiyah dalam Webinar ‘Menolak Suap Tambang untuk Ormas Keagamaan’, Jumat, 27 September 2024.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI, Muhammad Isnur, mengatakan PP tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Selain itu, Isnur mengungkapkan penyusunan PP juga keliru karena tidak ada definisi jelas apa itu ormas keagamaan. “Jadi kalau ada PP bertentangan dengan UU, dia batal demi hukum,” tuturnya.
KHUMAR MAHENDRA | EKA YUDHA SAPUTRA | SULTAN ABDURRAHMAN
Pilihan Editor: Upaya Oligarki Menjebak Ormas Keagamaan