TEMPO.CO, Jakarta - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Sandy Yudha Pratama Hulu, menilai kampanye calon kelapa daerah di lingkungan akademik tidak akan menganggu independensi kampus. Kampanye itu juga tidak bertujuan menghadirkan politik praktis di lingkungan kampus.
"Mahasiswa tidak berpolitik praktis. Bapak ibu dosen tidak berpolitik praktis. Kami akan menguji secara profesional. Tidak ada kepentingan politik tertentu," kata Sandy dalam webinar bertajuk 'Kampanye di Kampus dan Optimalisasi Politik Gagasan’ yang digelar Consid, Senin, 16 September 2024.
Sandy merupakan salah satu pemohon perkara Nomor 69/PUU-XXII/2024 tentang Kampanye Kepala Daerah di dalam Perguruan Tinggi. Ia dan Stefanie Gloria mengajukan permohonan uji materi Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Pasal tersebut berisi larangan menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan dalam kampanye pemilihan kepala daerah.
MK mengabulkan permohonan keduanya. Sehingga, kampanye Kepala Daerah bisa dilakukan di dalam Perguruan Tinggi. Hal itu tertuang di dalam Putusan MK Nomor 69/PUU-XXII/2024 tentang Kampanye Kepala Daerah di dalam Perguruan Tinggi.
Sandy mengatakan, maksud kampanye di dalam kampus yaitu memberikan ruang calon kepala daerah untuk adu gagasan. Gagasan itu akan diuji secara rasional oleh sivitas akademika.
Kampanye juga bukan rapat akbar atau rapat partai. Kampanye dilakukan tanpa membawa atribut. Pun harus mendapatkan izin dari kampus bila ingin melakukan kampanye.
Selain itu, kampanye bukan dijadikan ajang untuk menyampaikan narasi bersifat destruktif, seperti politik identitas. "Kami tak ingin ada politik identitas, primordialisme, dan sensasi miskin gagagan. Hal ini berbahaya karena akan menimbulkan efek post truth yang diamini publik sebagai suatu keberanra," kata Sandy.
Pengajar hukum pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Titi Anggraini, mengatakan putusan MK itu perlu diikuti PKPU tentang kampanye dalam kampus. Peraturan KPU itu harus memastikan hadirnya kampanye berorientasi politik dan dialektika gagasan.
Menurut Titi, kampus merupakan wadah tepat untuk menguji visi-misi dan program pasangan calon. Kampus juga menjadi tempat mengupas tuntas program pasancan calon. Sivitas akademika bisa menjadi instrumen yang sesuai untuk memastikan pemimpin yang berkapasitas.
Namun, pihak kampus tidak boleh bias dalam melakukan kampanye di kampus. Pihak kampus harus memberikan kesempatan yang adil dan setara kepada semua pasangan calon. Pun pihak kampus tidak boleh melakukan politik praktis.
“Prinsip utama kampanye harus izin penanggung jawab, tanpa atribut, dan memberlakukan dengan adil dan setara,” kata Titi.
MK telah mengabulkan permohonan mengenai kampanye Kepala Daerah di dalam Perguruan Tinggi. Hal itu tertuang di dalam Putusan MK Nomor 69/PUU-XXII/2024 tentang Kampanye Kepala Daerah di dalam Perguruan Tinggi.
Majelis hakim menyatakan frasa "tempat pendidikan" dalam norma Pasal 69 huruf i bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Aturan itu juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
"Sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi perguruan tinggi yang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi atau sebutan lain, dan (peserta kampanye) hadir tanpa atribut kampanye pemilu," kata Hakim Konstitusi, M. Guntur Hamzah, dikutip dari laman resmi MK, Selasa, 20 Agustus 2025.
Dalam pertimbangannya, Guntur Hamzah, mengatakan konstruksi norma Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak hanya sekadar dibaca pemilu untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden, dan dewan perwakilan rakyat daerah. Pemilu juga harus dimaknai termasuk di dalamnya pemilihan kepala daerah.
"Berkenaan dengan hal tersebut, salah satu tahapan pemilu dan pemilihan kepala daerah yang dapat dinilai memiliki kesamaan adalah penyelenggaraan kampanye," kata Guntur.
Berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 15 Agustus 2023, kampanye di tempat pendidikan dapat dikecualikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum tersebut di atas, Guntur melanjutkan, pengecualian terhadap larangan kampanye di kampus dimaksudkan untuk memberi kesempatan civitas akademika menjadi penyelenggara kampanye pemilu untuk mendalami visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan calon.
Menurut Guntur, karena substansi yang dimohonkan para Pemohon pada pokoknya sama dengan substansi Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk memberlakukan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 secara mutatis mutandis terhadap permohonan a quo. Selain itu, pemberlakuan secara mutatis mutandis tidak dapat dilepaskan dari keberlakuan prinsip erga omnes.
Pilihan Editor: KPU Ikuti Putusan MK soal Kampanye di Kampus