TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah mengkritisi banyaknya calon pimpinan atau capim KPK yang berasal dari kalangan penegak hukum. Mengingat, ada sembilan dari 20 capim KPK yang berasal dari polisi dan jaksa.
"Saya sendiri "mengharamkan" polisi dan jaksa jadi pimpinan KPK," katanya saat dihubungi Tempo pada Ahad, 15 September 2024.
Bukan tanpa alasan, dia menyoroti tiga persoalan terkait hal tersebut. Pertama, mengenai afiliasi para kandidat tersebut. Bila afiliasinya dari polisi dan jaksa, maka kata Herdiansyah loyalitas mereka berada di dua kaki.
"Intinya, dia bekerja untuk siapa? Kan menjadi kabur," ujarnya.
Kedua, mengenai masalah konflik kepentingan. Dia menyebut, polisi dan jaksa pada akhirnya akan menghadapi konflik kepentingan dalam menyelesaikan perkara. Hal ini, tentunya akan menghalangi kerja-kerja KPK. Dia mencontohkan kasus korupsi pengadaan simulator SIM Korlantas Polri, rekening gendut Komjen Budi Gunawan, bahkan kasus cicak vs buaya.
Ketiga, dia menyoroti perihal kooptasi. Dia mengatakan, keberadaan polisi dan jaksa, akan membuka ruang kooptasi. Mudah untuk menyandera KPK melalui mereka. Kooptasi merupakan pemilihan anggota baru dari suatu badan musyawarah oleh anggota yang telah ada. "Terlebih jika menjadi unsur dominan dalam KPK."
Dengan ketiga persoalan tersebut, kata dia, nyali KPK akan makin tergerus. "KPK hanya jadi alat penggebuk, termasuk mustahil KPK menyasar kedua institusi itu," tutur Herdiansyah.
Pilihan Editor: Jaga Independensi KPK, Eks Penyidik Minta Capim yang Nantinya Terpilih Mundur dari Instansi Asal