INFO NASIONAL - Ketua MPR RI sekaligus dosen tetap Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Borobudur, Bambang Soesatyo, menegaskan pentingnya penerapan prinsip ultimum remedium dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Bamsoet, mengungkapkan bahwa korupsi merupakan extraordinary crime atau "kejahatan luar biasa" yang membawa dampak luas terhadap keuangan, perekonomian negara, dan keberlangsungan kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan secara luar biasa pula.
Pada saat ini, pendekatan pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung mengedepankan prinsip primum remedium, di mana sanksi pidana dijadikan pilihan utama yang menitikberatkan pada hukuman badan atau penjara. Namun, pendekatan ini belum memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembalian aset yang hilang akibat korupsi. "Dari 1.218 perkara korupsi yang diadili di berbagai pengadilan, dengan total 1.298 terdakwa dan kerugian negara mencapai Rp 56,7 triliun, hanya Rp 19,6 triliun yang berhasil dikembalikan," kata Bamsoet saat menjadi penguji internal dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum Ahmad Sahroni di Universitas Borobudur, Jakarta, Ahad, 8 September 2024.
Bamsoet mendukung gagasan Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni yang mempromosikan penerapan prinsip ultimum remedium dalam pemberantasan korupsi. Melalui disertasinya yang berjudul "Pemberantasan Korupsi Melalui Prinsip Ultimum Remedium: Suatu Strategi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara," Sahroni menekankan bahwa pendekatan ini lebih efektif dalam memastikan keadilan bagi negara dan masyarakat, sekaligus memperkuat upaya pengembalian kerugian keuangan negara.
Acara tersebut juga dihadiri beberapa penguji antara lain Ketua Dewan Penguji Prof. Bambang Bernanthos, penguji eksternal Jaksa Agung Muda Intelijen Prof. Dr. Reda Manthovani, Promotor Prof. Surya Jaya, Ko-Promotor Prof. Faisal Santiago, penguji internal Prof. Ade Saptomo, dan Dr. Ahmad Redi.
Bamsoet menambahkan bahwa hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa kerugian negara akibat korupsi dalam periode 2013-2022 mencapai Rp 238,14 triliun. Pada tahun 2023, tercatat 791 kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 28,4 triliun. "Namun, pengembalian kerugian negara belum memadai. KPK hanya mengembalikan Rp 526 miliar, Polri Rp 909 miliar, dan Kejaksaan sekitar Rp 14,8 miliar," ujarnya.
Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 ini menekankan bahwa penerapan prinsip ultimum remedium, di mana sanksi pidana dijadikan pilihan terakhir, menjadi penting jika sanksi administrasi dan perdata tidak efektif. "Formulasi baru dalam penanganan kasus korupsi terkait pengembalian kerugian negara dapat mengadopsi aspek-aspek dalam Undang-Undang Perpajakan dan mengintegrasikan prinsip-prinsip dari berbagai undang-undang relevan. Selain itu, diperlukan dukungan dan koordinasi yang kuat antar lembaga pemerintah dalam pencegahan dan penindakan korupsi," tambah Bamsoet.
Sebagai penutup, Bamsoet yang juga Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD) menyoroti perlunya langkah konkret untuk meningkatkan implementasi mekanisme pengembalian kerugian negara. "Diperlukan koordinasi yang kuat antar lembaga penegak hukum dan upaya bersama untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara, sehingga efektivitas pemberantasan korupsi dapat ditingkatkan," katanya. (*)