TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia atau JPPI menolak rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani yang ingin mengubah ketentuan alokasi anggaran pendidikan, menjadi mengacu kepada pendapatan negara. Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji menilai usulan itu berpotensi akan memperburuk kualitas pendidikan.
Dia mengatakan, rencana pemerintah mengkaji ulang anggaran wajib atau mandatory spending sebesar 20 persen untuk pendidikan itu dikhawatirkan dapat memperparah kesenjangan layanan pendidikan. "Dampak secara langsung jika usulan ini disetujui, maka porsi besaran dana pendidikan dalam APBN akan menciut," ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu, 7 September 2024.
Terlebih lagi, katanya, pola keuangan negara saat ini yang tercatat mengalami defisit. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 yang ditetapkan Presiden Jokowi, defisit anggaran sebesar Rp 616,18 triliun atau 2,53 persen dari produk domestik bruto.
Kondisi tersebut, ujarnya, menandakan bahwa besaran pendapatan negara lebih kecil dibandingkan dengan komponen belanja. "Jadi, kalau pendapatan yang dijadikan acuan, nasib besaran porsi anggaran pendidikan nasional kian mengenaskan, karena ikut merosot," katanya.
Ubaid membeberkan alasan lain menolak usulan rencana memotong besaran anggaran pendidikan tersebut. Menurut dia, rencana ini justru menjadikan pemerintah kabur dari kewajiban konstitusionalnya.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 telah disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk membiayai pendidikan serta memprioritaskan alokasi anggaran minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Selain itu, menurut dia, pemerintah lebih baik menghitung kebutuhan biaya pendidikan.
Lewat perhitungan itu, kata Ubaid, pemerintah bisa mengalokasikan anggaran pendidikan itu menjadi tepat sasaran. "Jangan seperti saat ini, entah anggaran pendidikan itu siapa yang menikmati," katanya.
Ia menuturkan bahwa pemerintah semestinya mengevaluasi serapan anggaran, program, hingga mekanisme pengelolaan. Ubaid mengatakan, serapan anggaran yang buruk tidak bisa dijadikan alasan untuk mengamputasi hak anak mendapat dukungan dana dari pemerintah agar bisa menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi.
Usulan mengkaji ulang anggaran wajib pendidikan sebesar 20 persen ini juga ditolak oleh Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda mengatakan, bahwa Komisi X tidak setuju jika anggaran wajib untuk pendidikan sebesar 20 persen itu diutak-atik. Menurut dia, rencana mengkaji ulang dana pendidikan ini bertolakbelakang dengan prioritas Komisi X DPR.
Sebab, ujarnya, pihaknya masih berjuang agar pengelolaan anggaran wajib itu bisa sepenuhnya dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kemendikbudristek. Di sisi lain, ia mengatakan bahwa besaran anggaran wajib pendidikan sebesar 20 persen itu belum cukup mengakomodir kebutuhan untuk pemerataan akses pendidikan di Indonesia.
Dia mengaku khawatir skema mandatory 20 persen dari pendapatan APBN ini bisa menurunkan besaran anggaran untuk pendidikan. Huda menilai, dengan skema usulan itu maka belanja APBN bisa langsung terkoreksi sekitar Rp 130 triliun.
"Mandatory-nya dari pendapatan APBN, tentu (belanja) akan terkoreksi secara langsung. Itu yang kami tolak," ucapnya.
Sebelumnya, usulan mengkaji ulang anggaran wajib pendidikan sebesar 20 persen disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Usulan itu dia sampaikan saat rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR pada Rabu, 4 September 2024.
Sri Mulyani menilai, belanja wajib 20 persen itu semestinya dialokasikan dari pendapatan negara, bukan dari belanja negara. Sebab, ujarnya, belanja negara cenderung bernilai tidak pasti.
Dia mengatakan telah membahas usulan ini bersama jajarannya di Kementerian Keuangan. Menurut dia, apabila anggaran wajib pendidikan itu diambil dari belanja APBN, maka anggaran pendidikan itu menjadi naik-turun.
"Ini caranya mengelola APBN tetap patuh dengan konstitusi," katanya dikutip dari Antara.
Pilihan editor: Pemkab Banyuasin Raih Hub Award Kabupaten Terbaik Tahun 2024