INFO NASIONAL - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Nadiem Makarim mengakui, tidak semua lulusan perguruan tinggi mampu memenuhi kebutuhan dunia kerja. Bahkan, dia menganalogikan selama ini sistem pendidikan seolah hanya mengajarkan berenang di kolam renang, bukan di lautan.
Ironisnya, perguruan tinggi tidak satu suara dalam merespons kritik ini. Ada yang menerima dan berusaha berubah, tetapi ada pula yang berkilah bahwa tugas perguruan tinggi adalah menyiapkan ilmuwan masa depan, tidak selalu dan bukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja pada level teknis (baca: pekerja).
Persoalan ini semakin kompleks jika disandingkan dengan laju perubahan teknologi. World Economic Forum yang memprediksi lima tahun mendatang akan muncul 69 juta lowongan bidang pekerjaan yang belum ada saat ini. Sementara sebanyak 83 juta pekerja akan tersingkir karena jenis pekerjaannya tidak lagi diperlukan. Pertanyaannya, bagaimana perguruan tinggi mempersiapkan lulusan untuk bekerja di bidang yang sekarang belum ada?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mesti melihat konsep yang diperkenalkan McKinsey, T-shaped Graduates. Konsep ini menekankan bahwa dasar keilmuan sangat penting, tetapi perlu diimbangi dengan keterampilan sosial. Mengenai perkembangan masa depan, Mead Hbh Costello menulis dalam “The Future of Jobs Report 2020” yang diterbitkan World Economic Forum, bahwa lulusan perguruan tinggi harus lekas beradaptasi karena transformasi dunia kerja yang dipicu oleh globalisasi, digitalisasi, dan adopsi teknologi baru.
Costello juga memperkenalkan konsep pembelajaran sepanjang hayat. Artinya, orang harus terus meningkatkan keterampilannya (upskilling) sekaligus lincah dalam mendapatkan keterampilan baru (reskilling).
Perguruan tinggi juga perlu mempertimbangkan konsep Peris-Ortiz dkk (2017) yang disebut entrepreneurial university. Dengan konsep itu, perguruan tinggi didorong untuk membangun semangat kewirausahaan kepada lulusan. Dan untuk itu, perguruan tinggi juga harus mentransformasi diri menjadi entrepreneurial.
Dengan konsep tersebut, lulusan bukan berarti diarahkan menjadi pengusaha, tetapi memiliki semangat layaknya seorang entrepreneur, yakni semangat inovasi dengan tujuan mengatasi persoalan dalam masyarakat. Sebagian besar universitas papan atas dunia saat ini sudah bergerak ke sana. Sebut saja Stanford, Massachusetts Institute of Technology (MIT), Technische Universität München (TUM), Cambridge, Nanyang dan masih banyak lainnya.
Konsep Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang digagas oleh Kemendikbud Ristek merupakan inovasi kebijakan untuk menjawab persoalan ketidaksesuaian lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja. MBKM memberikan lebih banyak kebebasan kepada perguruan tinggi dan mahasiswa untuk mentransformasi proses belajar, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Data Kemendikbud Ristek menunjukkan, dalam empat tahun terakhir, program-program MBKM telah mempertemukan hampir dua juta mahasiswa Indonesia dengan 13 ribu praktisi dan 486 mitra industri, yang mampu mengurangi ketidaksesuaian tersebut. MBKM mendorong pendidikan untuk memberikan dampak yang lebih besar, baik bagi mahasiswa dan lulusan, maupun bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.
Lulusan diharapkan akan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang lebih sesuai dengan kebutuhan saat ini. Sementara lingkungan alam dan sosial akan merasakan manfaat positif dari peran mahasiswa dan perguruan tinggi dalam menyelesaikan masalah-masalah lokal. Kendati demikian, MBKM juga tidak bebas kritik. Semua pihak bersama-sama memperjuangkan yang terbaik untuk generasi muda Indonesia dalam menjawab tantangan zaman.
Universitas Gadjah Mada
(*)