INFO NASIONAL - Bisphenol-A (BPA) merupakan senyawa kimia yang banyak digunakan dalam pembuatan plastik dan resin, termasuk dalam kemasan air minum dalam kemasan (AMDK). Keberadaan BPA dalam produk sehari-hari telah menjadi perhatian serius di kalangan ilmuwan dan profesional kesehatan.
Salah satu yang menyoroti dampak negatif BPA adalah Diah Ayu Puspandari dari Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KPMAK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM.
Dalam paparannya berjudul “BPA: Dampak terhadap Ekonomi Kesehatan”, ia berpendapat BPA secara signifikan dapat meningkatkan risiko infertilitas, terutama pada individu yang sering terpapar melalui konsumsi AMDK.
Menurutnya, mengurangi paparan BPA tidak hanya akan meningkatkan kesehatan reproduksi, tetapi juga secara signifikan mengurangi beban ekonomi yang diakibatkan oleh infertilitas.
Dampak ekonomi dari infertilitas yang dipicu oleh paparan BPA meliputi berbagai aspek. Pertama, infertilitas memerlukan perawatan medis yang kompleks dan mahal, termasuk konsultasi dokter, pengobatan, hingga prosedur fertilisasi in vitro (IVF) yang harganya sangat tinggi. Biaya ini dapat membebani individu dan keluarga, serta memberikan tekanan pada sistem kesehatan nasional.
Baca juga:
Selain itu, hilangnya produktivitas akibat stres dan ketidakmampuan bekerja karena masalah kesehatan reproduksi juga menambah beban ekonomi. Diah memperkirakan jika paparan BPA terus berlangsung, dampak ekonomi ini akan semakin membesar dan menjadi beban serius bagi masyarakat dan negara.
Untuk membuktikan hipotesa ini, ia bersama timnya melakukan penelitian mendalam terkait dampak BPA terhadap infertilitas dan implikasi ekonominya. Penelitian ini menjadi salah satu langkah penting dalam memahami hubungan antara paparan BPA dan infertilitas, serta memberikan dasar ilmiah yang kuat untuk tindakan pencegahan dan intervensi.
Metode penelitian yang digunakan oleh Dr. Diah dan timnya melibatkan pendekatan epidemiologis dan analisis ekonomi. Mereka mengumpulkan data dari populasi yang terpapar BPA melalui konsumsi AMDK, serta data kesehatan reproduksi dan infertilitas dari rumah sakit dan klinik.
Selain itu, mereka menghitung risiko relatif dari infertilitas yang diakibatkan oleh paparan BPA dan menggunakan Fraksi Atribusi Populasi (PAF) untuk mengestimasi proporsi kasus infertilitas yang dapat dicegah jika paparan BPA dihilangkan. Analisis ekonomi kemudian dilakukan untuk menghitung biaya perawatan medis, hilangnya produktivitas, dan dampak ekonomi lainnya.
Ditemukan, jumlah kasus infertilitas yang membutuhkan terapi IVF pada populasi yang mengkonsumsi AMDK galon adalah sebesar 473.771 orang. Sedangkan Jumlah kasus infertilitas akibat konsumsi AMDK galon yang mengandung BPA dan membutuhkan layanan IVF sejumlah 199.081 orang.
Kajian Cost of Illness Infertilitas menunjukkan bahwa biaya satuan yang dibutuhkan untuk satu siklus layanan IVF di Indonesia memiliki rentang biaya antara Rp 80.292.952 di layanan kesehatan pemerintah hingga Rp 153.951.964 di layanan kesehatan swasta.
Adapun, besar total biaya berkiras antara Rp 16 triliun sampai dengan Rp 30.6 triliun dalam periode satu siklus.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi signifikan antara paparan BPA dan peningkatan risiko infertilitas. Paparan BPA yang tinggi ditemukan secara konsisten meningkatkan risiko infertilitas pada pria dan wanita, dengan dampak yang lebih besar pada mereka yang terpapar dalam jangka panjang.
Secara ekonomi, penelitian ini mengungkapkan bahwa beban yang diakibatkan oleh infertilitas terkait BPA sangat besar, terutama dalam hal biaya perawatan medis dan hilangnya produktivitas. Pengurangan paparan BPA diproyeksikan dapat mengurangi beban ekonomi ini secara signifikan.
Dari hasil penelitian ini, Diah menyatakan bahwa edukasi pada masyarakat adalah kunci untuk mencegah pemborosan ekonomi akibat efek jangka panjang BPA. Masyarakat harus cerdas memilih produk maupun mengurangi penggunaan AMDK yang mengandung BPA. (*)