TEMPO.CO, Jakarta - Pelaksana tugas Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Siti Fauziah, menjelaskan alasan penghapusan nama Presiden ke-2 RI Soeharto dalam TAP XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dia menyebut, penghapusan nama Soeharto dari Pasal 4 TAP XI/MPR/1998 tanpa mencabut ketetapannya.
"Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 yang merupakan Ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2022 yang menyatakan bahwa Tap XI/MPR/1998 termasuk dalam kategori TAP MPR yang tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang," katanya di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara IV, kompleks Senayan, Jakarta Pusat pada Sabtu, 28 September 2024.
Ia menambahkan undang-undang pelaksana dari TAP XI/MPR/1998 yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 34 UU Pemberantasan Tipikor menyebutkan dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Kejaksaan Agung, kata Siti, menggugat Soeharto secara perdata beberapa Yayasan Bapak Soeharto, salah satunya Yayasan Supersemar pada 9 Juli 2007. Hasilnya, pengadilan melalui berbagai putusan mulai Putusan Pengadilan Negeri (PN) sampai putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung pada 2015 menyatakan Yayasan Supersemar terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum, dengan amar putusan mengharuskan Yayasan Supersemar membayar kerugian kepada negara, namun sampai saat ini baru dibayarkan sebagian kepada negara.
Adapun upaya hukum yang dilakukan kepada Soeharto secara pribadi, dia mengatakan sudah selesai dilakukan dengan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memberikan kepastian hukum kepada mantan Presiden Soeharto. Hal itu melalui Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan/SKPPP pada tahun 2006 oleh Kejaksaan Agung sesuai pasal 140 ayat (1) KUHAP, serta Keputusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2015 karena alasan penyakit permanen yang diderita Bapak Soeharto pada waktu itu.
"Bahwa, pada tanggal 27 Januari 2008 Bapak Soeharto telah meninggal dunia dan sesuai ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia," ucapnya.
Atas hal itu, maka materi muatan dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XIMPR/1998 yang secara eksplisit menyebutkan nama Mantan Presiden Soeharto dalam perbuatan melawan hukum melakukan tindak pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme secara pribadi dengan ini dinyatakan sudah dilaksanakan.
"Namun tidak termasuk terhadap perkara-perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme lainnya yang disebutkan dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998," ucap dia.
Sebelumnya, nama Soeharto resmi dihapus dari TAP XI/MPR/1998 pada Rabu, 25 September 2024. Ketua MPR Bambang Soesatyo menyebut, usulan penghapusan ini diajukan oleh fraksi Partai Golkar kepada pimpinan MPR pada 18 September 2024.
"Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998 tersebut secara diri pribadi, bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan, karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," ujar Bamsoet saat sidang akhir masa jabatan MPR periode 2019-2024 di Gedung Nusantara pada Rabu.
Pasal 4 TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 menyebutkan, upaya pemberantasan KKN harus dilakukan dengan tegas dan tanpa pandang bulu. Tak terkecuali terhadap Mantan Presiden Soeharto. TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 itu ditetapkan di Jakarta pada 13 November 1998.
"Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglemerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia," demikian tertulis dalam Pasal 4.
Pilihan Editor: Ketua MPR Bambang Soesatyo Sebut Soeharto Layak Dapat Gelar Pahlawan Nasional