TEMPO.CO, Jakarta - Badan Legislasi atau Baleg DPR menganulir putusan MK yang disahkan satu hari sebelumnya, pada 21 Agustus 2024. Putusan MK tersebut tertuang dalam Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas Pilkada yang memiliki empat klasifikasi besaran suara sah, yaitu 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen sesuai besaran DPT daerah setempat.
Selain itu, Baleg DPR juga menganulir putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang penetapan batas usia calon kepala daerah minimal 30 tahun saat penetapan calon oleh KPU. Sikap DPR ini pun disoroti oleh berbagai pihak, termasuk peneliti Center for Law and Social Justice (LSJ) Universitas gadjah Mada (UGM) Markus Togar.
Markus menilai, putusan MK yang dianulir oleh Baleg DPR bukan lagi menjadi kesedihan atau kekecewaan, melainkan kemuakan atas demokrasi. Akibatnya, ia mewajarkan, jika semua elemen masyarakat turun ke jalan untuk melampiaskan kekecewaan dan kemuakan.
“Putusan MK kemarin itu (20 Agustus 2024) melahirkan napas bagi demokrasi Indonesia. Namun, Baleg DPR seakan tak ingin nafas demokrasi tersebut hadir. Baleg DPR berusaha mengakali putusan MK dengan merevisi UU Pilkada,” kata Markus kepada Tempo.co, pada Jumat, 23 Agustus 2024.
Menurut Markus, Baleg DPR tidak menjalankan hukum dengan baik lantaran menganulir putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Putusan MK tidak dapat dianulir, dibatalkan, atau diubah oleh Baleg DPR. Pengubahan terhadap putusan MK adalah pembangkangan Baleg DPR terhadap konstitusi. Sebab, putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap sehingga Baleg DPR terikat untuk mematuhi dan melaksanakannya.
Markus juga menekankan, langkah Baleg DPR dalam menganulir putusan MK tidak mencapai keadilan untuk seluruh rakyat dalam menghadapi Pilkada 2024.
“Saya membaca bahwa pada Pilkada 2024 ini, penguasa hendak menaruh pion-pion pentingnya di setiap daerah. Tak terkecuali anak bungsu presiden (Kaesang) yang akan ambil bagian di dalamnya. Artinya, ada indikasi bahwa calon-calon lain di Pilkada 2024 ini berusaha untuk dibatasi dan disabotase agar pemenangnya adalah calon dari penguasa," kata dia.
Menurutnya, lonsep pembuatan hukum dan praktiknya digunakan untuk memenangkan calon dari penguasa sehingga kerangka keadilan yang diharapkan menjadi tidak tercapai.
Lebih lanjut, Markus mengungkapkan, jika Baleg DPR tetap menganulir putusan MK Nomor 60 dan 70, gerakan sosial akan lebih luas untuk menolak Pilkada 2024. Mahasiswa, akademisi, buruh, nelayan, petani, dan elemen masyarakat sipil lain akan bergerak bersama memboikot Pilkada 2024.
“Saya rasa, Pilkada 2024 ini menjadi momen yang pas untuk meneriakkan kemuakan kita sebagai warga negara karena rezim Jokowi selalu menggunakan instrumen hukum untuk memuluskan kepentingannya,” kata Markus.
Kendati demikian, pengesahan revisi UU Pilkada yang rencananya dilakukan pada 22 Agustus 2024 telah dibatalkan. Akibatnya, ketentuan terkait Pilkada 2024 akan dilakukan sesuai putusan MK. Meskipun telah dibatalkan, tetapi Markus menegaskan, masyarakat tetap mengawal pelaksanaan putusan MK.
“Belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya, DPR ini selalu punya intrik-intrik licik untuk mengakali. Oleh sebab itu, secara bersama-sama kita harus mengawal (putusan MK). Bisa dengan gerakan sosial, diskusi untuk memperkuat pencerdasan publik, dan konsolidasi setiap waktu setidaknya sampai batas akhir pendaftaran calon,” kata Markus.
Pilihan Editor: Pernyataan Jokowi Kontradiktif Soal Putusan MK, Dulu Katanya Final dan Mengikat, Sekarang...