TEMPO.CO, Jakarta – Komisi Pemilihan Umum menetapkan kemenangan Joko Widodo atau Jokowi, waktu itu berpasangan dengan Jusuf Kalla, dalam pemilihan presiden 2014 pada 22 Juli 2014. Sepuluh tahun kemudian, berbagai kemunduran demokrasi terjadi.
Seperti tertulis dalam edisi khusus “Nawadosa Jokowi”, kemunduran demokrasi selama kepemimpinan Jokowi terekam dalam indeks demokrasi yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit, sayap penelitian The Economist. Pada 2015, setahun pertama Jokowi berkuasa, skor demokrasi Indonesia 7,03 dengan nilai kebebasan sipil sebesar 7,35. Sembilan tahun kemudian, indeks demokrasi merosot menjadi 6,53 dengan skor kebebasan sipil 5,29.
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, meminta tak semua kasus yang mencerminkan kemunduran demokrasi dikaitkan dengan peran negara. “Aktor yang terlibat harus dikenal,” ujar mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia itu dalam wawancara khusus di kompleks Istana Negara, Rabu, 24 Juli 2024.
***
Pembalikan demokrasi terjadi selama pemerintahan Joko Widodo: penegakan hukum lemah, kebebasan berekspresi dibatasi, dan nyaris tak ada oposisi. Apa tanggapan Anda?
Pertanyaannya adalah apakah ada peran negara di situ? Misalnya dalam kasus pembakaran rumah wartawan di Sumatera Utara. Kalau benar itu dilakukan oknum, ini yang menjadi persinggungan. Padahal tak ada peran negara di situ, tapi orang mengecap ada peran negara di situ. Aktor yang terlibat harus dikenal. Jangan dikit-dikit ada peran negara.
Banyak data membuktikan aktor utamanya adalah negara, dan negara pula yang punya sumber daya untuk mengerjakan operasi yang sistematis.
Kadang-kadang ada gap antara kebijakan dan operasional. Contohnya, Presiden Jokowi ingin diselesaikan dengan baik. Namun terjadi deviasi di bawah karena ada gap kebijakan itu. Mungkin ada beberapa oknum yang tak memahami keinginan Presiden sehingga terjadi penanganan yang berbeda. Jadi, sekali lagi, tak ada peran negara di situ.
Bukankan membaca Jokowi harus dengan logika terbalik? Yang dikehendaki Presiden adalah kebalikan dari yang dikatakan ke publik.
Ha-ha-ha.. Anda zigzagnya cepat sekali. Itu analisis pribadi Anda dan belum tentu sama dengan yang kami analisis. Saya ini mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia sehingga bisa memahami situasi seperti itu.
Bagaimana Anda merespons berbagai kritik terkait situasi demokrasi selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi?
Saya selalu sampaikan kepada publik, ada pendekatan bagaimana mengelola stabilitas dan demokrasi. Bagaimana kita mengambil jalan tengah. Bagaimana kita menyeimbangkan stabilitas dan demokrasi. Sebuah negara yang kecenderungannya memperkuat stabilitas, maka demokrasinya terganggu. Tapi juga hati-hati, negara yang begitu lepas demokrasinya, maka proses pembangunan enggak mudah-mudah amat berjalan karena selalu terganggu. Yang terpenting adalah aturan main yang clear. Demokrasi tak boleh tak terkawal dengan baik.
Pilihan Editor:RS Santo Yusup Bandung Bantah Kabar Setop Layani Peserta BPJS Kesehatan