TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dan Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia (BEM SI) Kerakyatan mengkritik rencana revisi Undang-Undang (UU) TNI dan Polri.
Adapun Megawati menilai, revisi UU TNI dan Polri berpotensi bakal menyetarakan kedua institusi tersebut.
Ketika menjabat sebagai presiden, menurut Megawati, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI telah mengeluarkan Ketetapan (TAP) MPR Nomor 6/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri. Dia pun meminta perancangan UU tersebut agar merujuk kembali kepada Ketetapan MPR tersebut.
"TAP MPR harus dijalankan yaitu pemisahan antara TNI-Polri, loh kok sekarang disetarakan? Saya ga ngerti maksudnya apa," kata Megawati saat berpidato pada Mukernas Partai Perindo di Jakarta, Selasa, 30 Juli 2024, seperti dikutip dari Antara.
Jika disetarakan, dia berpikiran bahwa TNI AU dan Polri bakal sama-sama memiliki pesawat. Namun, dia mengaku sudah ada yang memberitahukan kepadanya bahwa kedua rancangan UU tersebut hanya berbicara soal usia masa pensiun.
"Ya persoalan umur ya sudah saja, nggak perlu disetara-setarakan gitu, apa toh maunya," katanya.
BEM SI gelar aksi unjuk rasa
Pada hari yang sama, Selasa kemarin, 30 Juli 2024, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam kelompok BEM SI Kerakyatan menggelar aksi unjuk rasa di Patung Kuda Wijaya Arjuna, Jakarta. Mereka menolak rencana revisi UU TNI-Polri karena dianggap mengabaikan partisipasi publik.
Ketua BEM Universitas Padjajaran (Unpad) Fawwaz Ihza Mahendra mengatakan, aksi unjuk rasa dilakukan untuk merespons langkah DPR yang saat ini sedang melakukan pembahasan terhadap rencana revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
"Kami berpendapat pembahasan RUU Polri dan RUU TNI adalah langkah yang keliru dan justru sarat akan berbagai persoalan yang seharusnya tidak perlu ada," tutur Fawwaz, Selasa, 30 Juli 2024, seperti dikutip dari Tempo.
Menurut dia, proses pembahasan revisi UU TNI dan Polri dilakukan secara terburu-buru dan mengabaikan partisipasi publik. Revisi UU Polri disebutnya menambahkan daftar kewenangan yang tidak jelas kepentingannya dan justru menimbulkan tumpang tindih kewenangan.