TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan penyegelan tempat ibadah Ahmadiyah menunjukkan diskriminasi dan pelanggaran serius oleh negara terhadap kelompok minoritas. Padahal menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin Konstitusi.
Usman menegaskan kebebasan beragama adalah hak fundamental yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara tanpa kecuali. Setiap warga negara, kata Usman, berhak untuk menjalankan ibadah agamanya tanpa takut diskriminasi, intimidasi, atau ancaman.
“Kami mendesak pihak berwenang di Garut untuk segera mencabut penyegelan tempat ibadah tersebut dan menghentikan segala bentuk tindakan diskriminatif terhadap Jemaah Ahmadiyah,” kata Usman lewat keterangan tertulis, Kamis, 4 Juli 2024.
Sumber Amnesty International Indonesia mengungkapkan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Garut menyegel tempat ibadah jamaah Ahmadiyah pada Selasa, 2 Juli 2024. Lokasi tempat ibadah berada di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut.
Pada Selasa sore, 2 Juli 2024, Satpol PP, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol), Kejaksaan Negeri Garut, dan Kepolisian Resor Garut mengadakan rapat membahas Ahmadiyah di Ruangan Kasi Intel Kejaksaan Negeri Garut. Malamnya, puluhan aparat gabungan yang dipimpin oleh Kasatpol PP Kabupaten Garut menutup paksa Masjid Ahmadiyah di Nyalindung.
Amnesty mengatakan alasan Satpol PP menutup paksa masjid tersebut karena sebelumnya telah menerima audiensi dari ormas yang mengatasnamakan GERAM (Gerakan Anti Ahmadiyah) yang menolak keberadaan masjid itu. Padahal keberadaan masjid tidak dipermasalahkan warga sekitar.
Jemaah Ahmadiyah di Kampung Nyalindung sudah ada sejak 1970-an dan hidup berdampingan secara damai dengan warga lainnya. Jamaah Ahmadiyah di sana menggunakan masjid itu sebagai sarana ibadah seperti shalat lima waktu, mengaji Al-Quran, dan sarana pendidikan anak-anak belajar tentang ke-Islaman.
Sebelum insiden di Garut tersebut, data Amnesty International Indonesia selama Januari 2021 hingga Mei 2024 mencatat 121 kasus intoleransi atas umat beragama di Indonesia. Kasus-kasus tersebut di antaranya berupa penolakan, pelarangan, penutupan, atau perusakan rumah ibadah maupun penyerangan atau intimidasi atas umat. Pelaku intoleransi berasal dari aparat negara, warga, maupun organisasi masyarakat.
Pilihan Editor: Respons Dedi Mulyadi Dapat Dukungan Maju di Pilgub Jabar 2024