INFO NASIONAL – Jakarta identik dengan budaya Betawi. Dalam setiap perayaan hari ulang tahun kota ini, ornamen seperti ondel-ondel, kembang kelapa, hingga gigi balang selalu tampil sebagai penghias.
Saat upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-497 Jakarta di kawasan Monumen Nasional (Monas), Sabtu pagi, 22 Juni 2024, patung ondel-ondel berada di sisi kanan dan kiri panggung utama tempat duduk Penjabat (Pj.) Gubernur Heru Budi Hartono. Peserta upacara juga mengenakan pakaian adat Betawi.
Sedangkan di selatan Jakarta, Setu Babakan menjadi lokasi acara Gebyar Budaya Betawi. Beragam kesenian Betawi seperti gambang kromong, keroncong Betawi, tari-tarian khas Betawi, hingga lenong denes ditampilkan sejak pagi hingga malam. Pengunjung juga mendapat kesempatan belajar kuliner khas Betawi, permainan tradisional, serta membuat pantun Betawi.
Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra mengatakan, budaya Betawi memang identik dengan Jakarta. Potensi ini harus terus dijaga dan dikembangkan seiring pembangunan Jakarta sebagai kota global.
“Betawi itu terkenal ramah dan mau menerima berbagai kebudayaan. Jakarta sejak dulu telah menjadi wadah asimilasi banyak suku bangsa. Kebudayaan mereka bisa tumbuh dan sekaligus memunculkan budaya baru yang jadi bagian dari budaya Betawi,” ujarnya kepada Info Tempo.
Menurut Yahya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa tetap menjadikan budaya Betawi bagian dari perkembangan kota global. Bali dengan kekayaan budayanya telah berhasil menjadi episentrum pariwisata Indonesia. Maka, budaya Betawi pun punya potensi itu.
“Jangan takut dengan pendapat Islam di Jakarta enggak ramah. Itu bukan asli Islam Betawi. Kalau masyarakat muslim Betawi masih memelihara adat-adat nenek moyang, kok. Kalau kita, terbuka dengan berbagai ras dan ini sudah terbukti selama berabad-abad. Jadi, Jakarta punya potensi berdasarkan sejarah yang panjang,” tuturnya.
Sejumlah penari menampilkan tarian Betawi saat Car Free Day (CFD) atau Hari Bebas Kendaraan Bermotor di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (23/6/2024). Kegiatan tersebut digelar dalam rangka memeriahkan peringatan HUT ke-497 Jakarta. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/nym.
Keterbukaan budaya Betawi terhadap budaya kekinian terlihat pula dalam rangkaian acara Jakarnaval atau “Malam Jaya Raya” di Monas pada Sabtu malam. Pewara Okky Lukman begitu percaya diri mengenakan hiasan rambut kembang kelapa. Begitu juga dengan para penampil. Mulai dari Cakra Khan, Sibad, Nella, Gigi, Sandhy Sondoro, hingga Wali mengenakan kostum berciri Betawi.
Di antara kemilau para penyanyi dan pertunjukan video mapping di dinding Monumen Nasional (Monas), Pj. Gubernur Heru yang tiba-tiba muncul di tengah kerumunan penonton langsung membagikan kaus. Ia juga meninjau hiburan pasar malam dan menaiki kendaraan hias oplet bersama Keluarga Si Doel seperti Munaroh, Ipeh, dan Mastur, untuk menghibur warga di area panggung utama.
"Kami akan terus berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi warga di Jakarta. Semoga pada usia yang ke-497 ini, Jakarta tetap menjadi kota yang dibanggakan dan dicintai warganya, serta selalu ada di hati kita bersama," kata Heru dinukil dari Berita Jakarta.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mencatat, jumlah pengunjung di kawasan Monas pada Sabtu malam, sejak pukul 20.00 hingga 23.00, sebanyak 109.731 orang dewasa dan 56.161. anak-anak, sehingga total pengunjung mencapai 165.892 orang.
Menggali Budaya dan Sejarah Jakarta
Sejarawan JJ Rizal sependapat dengan Yahya Andi Saputra. Pemprov DKI Jakarta bisa menggali sejarah dan budaya sebagai kekuatan utama dalam sektor pariwisata. Sebab, Jakarta telah terbukti sebagai kota yang punya pengalaman sejarah panjang.
“Kalau kita ngomong Indonesia, ingatlah bahwa nasionalisme itu terbentuk di Jakarta. Awal kebangkitan terjadi NKRI (Negara Kesaturan Republik Indonesia) itu berada di Jakarta. Mulai dari STOVIA 1908, lalu Sumpah Pemuda 1928, hingga akhirnya Proklamasi 1945. Jakarta enggak boleh dilupakan. Kalau dilupakan, maka Indonesia selesai,” ungkap sejarawan lulusan Universitas Indonesia ini.
Menurut Rizal, selain menampilkan budaya Betawi, Pemprov DKI Jakarta dapat menyulap kampung-kampung tradisional sebagai destinasi wisata, seperti yang telah dilakukan terhadap cagar budaya kawasan Kota Tua. “Atau, bisa juga rumah-rumah peninggalan masa kolonial di Menteng dikemas jadi paket wisata sejarah,” ucapnya
Mengemas pola wisata semacam ini, tambah Rizal, sejalan dengan tren dunia yang mulai gandrung terhadap economic story, yakni menjual kekayaan atau sumber daya sebuah kota atau negara melalui narasi. “Ruang kota adalah cerita. Misalnya, memanfaatkan artefak dan situs yang ada dan ditulis ulang. Itulah tadi contohnya dengan memanfaatkan kampung atau kawasan Menteng,” jelasnya.
Tantangannya, Pemprov DKI Jakarta belum dapat memanfaatkan semua potensi tersebut untuk melahirkan wisata baru. “Itu belum digarap serius, yakni memastikan kawasan dengan nilai sejarah tetap ada,” terang Rizal. Ia pun memberi contoh kawasan Gelora Bung Karno (GBK) Senayan yang menjadi situs sejarah, karena perlambang kebanggaan Indonesia di bawah kepemimpinan Sukarno.
Jakarta harus bangga pula, lanjut Rizal, karena punya keunggulan interkultural, yaitu percampuran kelompok masyarakat yang berbeda bangsa, etnis, dan akhirnya mampu bekerja sama membuat budaya yang baru. Banyak kota di dunia yang sebenarnya juga plural, namun belum tentu interkultural.
“Nah, Jakarta memiliki ini. Terbukti telah menyumbangkan kebudayaan terbaik, sehingga menjadi kota yang menghargai kemanusiaan,” urainya.
Kini saatnya semua pihak, di bawah komando Pemprov DKI Jakarta, menjadikan pengalaman Jakarta yang kaya ini menjadi modal bagi generasi muda. Jakarta harus pula memastikan inklusivitas, kesetaraan kepada seluruh warga. “Dan memberi contoh bahwa dari kekayaan budaya masa lalu dapat menjadi gagasan dan solusi dari persoalan yang dihadapi kota global,” papar Rizal. (*)