TEMPO.CO, Jakarta - Pada 4 Juni 2024, DPR mengesahkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak atau UU KIA yang memberikan hak cuti melahirkan dan persalinan bagi ibu pekerja maksimal 6 bulan dan cuti bagi suaminya saat istri melahirkan.
Menurut Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Diah Pitaloka, UU KIA berfokus mengatur kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan sejak terbentuknya janin dalam kandungan hingga berusia dua tahun.
Rachmad Hidayat menilai, pengesahan UU KIA ini sebagai langkah positif yang memperhatikan kebutuhan dasar perempuan menjadi ibu.
“Sangat positif, secara legal ada progres dari pemerintah memberikan kajian hukum perhatian lebih serius mengenai standar pemenuhan kesehatan yang sangat basic, terutama untuk perempuan dalam peran yang paling mendasar sebagai ibu,” kata dosen yang turut mengkaji gender dan maskulinisme kepada Tempo.co, pada 12 Juni 2024.
Rachmad menilai bahwa UU KIA membuktikan kekuatan kolektif perempuan sebagai subjek, bukan objek atau alat kepentingan. Kebutuhan dasar perempuan dalam UU KIA menjadi progres positif hukum yang membuktikan suara perempuan lebih didengar dan bermakna.
Lebih lanjut, Rachmad menyatakan, pengesahan UU KIA menjadi kemajuan awal bagi perempuan. Namun, langkah ini masih jauh dari kemenangan yang sebenarnya karena bisa menjadi bumerang bagi perempuan.
“UU KIA ini juga membuat beberapa perusahaan cenderung menghindari pekerja perempuan yang sudah menikah dan nantinya akan melahirkan karena akan melihat peluang cuti panjang. Perusahaan pun cenderung ‘menghindari’ perekrutan pekerja perempuan karena ketakutan cuti berkepanjangan,” kata Rachmad.
Menurut Rachmad, kondisi tersebut harus diikuti peluang kerja bagi perempuan secara adil dan setara dalam dunia kerja. Pasalnya, aturan hukum tersebut akan berimplikasi pada peluang perempuan masuk ke dunia kerja dan posisi yang akan didudukinya.
“Satu langkah maju, tetapi masih jauh dikatakan sebagai kemenangan bagi perempuan,” kata Dosen Teori-Teori Sosial Filsafat UGM ini.
Kendati demikian, UU KIA yang telah disahkan DPR memberikan peluang bagi ibu dan anak untuk fokus pada proses pengasuhan.
“UU KIA dapat memberikan peluang bagi ibu dan anak untuk fokus pada pengasuhan dan tumbuh kembang pasca-melahirkan dan proses pemeliharaan (menyusui). Proses ini semua butuh waktu yang intens karena dapat membuat stres, jika masih bekerja,” tutur Rachmad.
Tak hanya itu, UU KIA juga membuat ibu dapat melakukan pemulihan pasca-melahirkan dan membangun peran reproduksi secara mapan. Ibu dapat memberikan perhatian penuh kepada anak yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi keluarga secara lebih baik, ajeg, dan berkualitas.
Rachmad menyampaikan, UU KIA juga memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak.
“Anak memiliki perhatian penuh dari orang tua. Relasi anak dengan orang tua menjadi salah satu hal yang vital. Jika orang tua mendapatkan intervensi dari kerjaan, akan sangat vital memengaruhi interaksi kepada anak. Akibatnya, interaksi anak dan orang tua saat awal itu menjadi peran vital bagi anak ke depannya,” ujarnya.
Rachmad juga berharap pengesahan UU KIA ini disertai dengan pemantauan dan pengawasan ketat dari pemerintah kepada perusahaan. Dengan demikian, perusahaan tidak abai dan tidak memberikan ancaman terhadap aturan-aturan dalam UU KIA, terutama kepada ibu.
RACHEL FARAHDIBA R | HAN REVANDA PUTRA
Pilihan Editor: Ketok Palu UU KIA Bolehkan Cuti Melahirkan Selama 6 Bulan, Bagaimana Upahnya? Ini Bunyi Pasal-pasalnya