TEMPO.CO, Jakarta - Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Indonesia di Arab Saudi akan menerapkan skema ibadah haji yang berbeda dari tahun lalu saat berada Muzdalifah seusai melakukan wukuf di Arafah. Petugas haji Indonesia berencana memberlakukan skema murur, yaitu melintas di Muzdalifah setelah wukuf di Arafah. Biasanya, jemaah haji akan bermalam atau mabit di Muzdalifah setelah wukuf.
“Tahun ini kami akan terapkan skema murur untuk mabit di Muzdalifah. Kebijakan ini kami terapkan setelah menimbang kondisi spesifik terkait potensi kepadatan di tengah terbatasnya area Muzdalifah,” kata Direktur Layanan Haji Luar Negeri, Kementerian Agama, Subhan Cholid, lewat keterangan tertulis, Kamis, 6 Juni 2024. “Skema murur ini menjadi ijtihad dan ikhtiar bersama dalam menjaga keselamatan jiwa jemaah haji Indonesia.”
Ia mengatakan, saat melintas di Muzdalifah setelah melakukan wukuf di Arafah, jemaah haji Indonesia tetap berada di atas bus. Lalu jemaah haji berangkat menuju ke Mina. Cara ini berbeda dengan penyelenggaraan ibadah haji tahun lalu. Saat itu, jemaah haji Indonesia turun dari kendaraan saat berada di Muzdalifah.
Subhan menjelaskan alasan PPIH melakukan skema murur. Pada penyelenggaraan ibadah haji tahun ini, jemaah haji Indonesia tidak lagi menempati Mina Jadid atau Mina Baru –wilayah perluasan dari Mina—ketika di Muzdalifah. Tapi sebanyak 213.320 jemaah haji dan 2.747 petugas haji asal Indonesia akan menempati seluruh area Muzdalifah. Kondisi ini akan membuat Muzdalifah sesak oleh jemaah haji dari berbagai negara di dunia. Sehingga ruang yang tersedia di Muzdalifah hanya sekitar 0,29 meter persegi untuk setiap jemaah haji.
“Tempat atau space di Muzdalifah ini menjadi semakin sempit dan ini berpotensi kepadatan luar biasa yang jika dibiarkan akan dapat membahayakan jemaah,” kata Subhan.
Situasi tersebut berbeda dengan penyelenggaraan ibadah haji tahun lalu. Saat itu, sebanyak 27 ribu jemaah haji Indonesia menempati Mina Jadid. Lalu sebanyak 183 ribu jemaah haji Indonesia lainnya menempati area seluas 82.350 meter persegi di Muzdalifah. Saat itu, setiap jemaah haji mendapatkan ruang sekitar 0,45 meter persegi di Muzdalifah. “Ruang ini saja sudah sangat sempit dan padat,” ujar Subhan.
Ia mengatakan kepadatan ini tidak hanya dialami jemaah haji Indonesia, tetapi seluruh jemaah haji di dunia. Subhan melanjutkan, tempat yang tersedia di Muzdalifah memang sudah dibagi rata sesuai dengan jumlah jemaah di setiap negara.
Skema murur, kata Subhan, tidak hanya diterapkan oleh jemaah haji Indonsia, tapi juga sebagian besar jemaah haji asal Turki dan sejumlah negara dari Afrika.
Ia mengklaim skema murur ini sudah disepakati dalam musyawarah syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Hasilnya, kepadatan jemaah haji di area Muzdalifah dapat dijadikan alasan kuat sebagai uzur untuk dapat meninggalkan mabit di Muzdalifah. Cara ini juga dinilai bahwa haji akan tetap sah dan tidak terkena kewajiban membayar dam. Sebab, kata Subhan, kondisi jemaah haji yang berdesakan borpotensi menimbulkan mudarat dan mengancam keselamatan jiwa mereka.
“Menjaga keselamatan jiwa pada saat jemaah haji saling berdesakan termasuk uzur untuk meninggalkan mabit di Muzdalifah,” kata Subhan, yang mengutip salah satu kesimpulan musyawarah Syuriah PBNU.
Subhan menjelaskan, pergerakan jemaah haji Indonesia dari Arafah akan dibagi dalam dua skema, yaitu murur dan normal. Pergerakan dengan skema murur akan menyasar sekitar 25 persen dari total jumlah jemaah dan petugas haji atau sekitar 55.000 orang. “Angka ini sepadan dengan 27.000 jemaah yang tahun sebelumnya menempati Mina Jadid, tambahan kuota 10.000, serta sekitar 18.000 yang terdampak pembangunan toilet di Muzdalifah,” kata Subhan.
Ia menuturkan PPIH Arab Saudi akan memprioritaskan skema murur ini untuk jemaah haji dengan risiko tinggi, lanjut usia, disabiltas, serta para pendamping lansia.
Sebagai langkah persiapan, PPIH akan meminta petugas kloter untuk mendata jemaah haji yang akan diikutkan dalam skema murur sesuai dengan kriteria tersebut. Data itu akan dibuat berbasis kloter, selanjutnya data itu diserahkan ke petugas sektor. Data dari petugas sektor tersebut yang akan dihimpun oleh petugas Daker Mekkah.
“Skema murur akan berlangsung pada 9 Zulhijjah dari pukul 19.00-22.00 waktu Arab Saudi. Jemaah akan bergerak dari Arafah, melewati Muzdalifah, tidak turun, lalu langsung menuju Mina,” kata Subhan.
Selanjutnya, Satgas Mina yang menjadi tanggung jawab petugas Daker Makkah akan bergerak dari Arafah ke Mina lebih awal, yakni pukul 13.30 waktu Arab Saudi pada 9 Zulhijjah untuk menyambut kedatangan jemaah.
Pergerakan jemaah dengan skema murur dari Arafah ini, kata Subhan, akan dilakukan berbasis daftar nama jemaah yang sudah diusulkan. Jemaah haji akan berkumpul di pintu keberangkatan maktab di Arafah setelah Magrib, lalu diberangkatkan melintas Muzdalifah dan langsung ke Mina.
“Sementara untuk pergerakan jemaah dengan skema normal, sistem taraddudi dari Arafah ke Muzdalifah, akan dimulai pukul 22.00 waktu Arab Saudi, setelah proses pergerakan skema murur selesai,” ujar Subhan.
Sebelum ditetapkan, Kementerian Agama telah melakukan serangkaian pembahasan mengenai skema murur ini dengan otoritas Arab Saudi. Subhan mengatakan, pembahasan itu lebih dari lima kali dilakukan, antara lain dilakukan dengan pihak Masyariq dan Naqabah (Organda Saudi).
Setelah melalui proses kajian, skema murur didahulukan. Subhan menjelaskan alasan paling utama melakukan skema tersebut adalah untuk menghindari kepadatan dan masyaqqah yang lebih besar. Apalagi, jemaah haji yang ikut dalam skema ini masuk kategori risiko tinggi, lansia, dan disabilitas.
“Kita dahulukan keberangkatannya untuk menghindari pertemuan jalur murur dan jalur taraddudi Muzdalifah-Mina. Jadi saat murur berjalan, jalur dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina masih kosong. Sebab, pergerakan Arafah ke Muzdalifah baru dimulai setelah pukul 22.00 WAS dan pergerakan dari Muzdalifah ke Mina, baru dimulai sekitar pukul 23.30 WAS,” kata Subhan.
Ia mengatakan keberangkatan jemaah haji dengan skema murur lebih awal akan memberikan waktu lebih longgar bagi jemaah haji risiko tinggi, lansia, dan disabilitas untuk naik dan turun kendaraan, baik di Arafah maupun saat tiba di Mina. Di samping itu, jadwal murur lebih awal juga akan menghindari penumpukan kedatangan jemaah haji di Mina. “Meski tiba lebih awal, jemaah risiko tinggi, lansia, dan disabilitas, cenderung tidak beraktivitas keluar masuk tenda, sehingga tidak mengganggu lalu lintas,” kata dia.
Pilihan Editor : Arab Saudi Peringatkan Suhu Panas Di atas Rata-rata Selama Ibadah Haji