TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Masa (UGM) Herlambang Perdana Wiratraman menyoroti polemik revisi UU Penyiaran yang tengah bergulir di masyarakat. Dia menyebut proses revisi peraturan itu merupakan satu contoh dari sekian banyak manipulasi dalam proses pembentukan undang-undang yang pernah terjadi.
"Pembentukan hukum itu harus dilandaskan pada proses partisipasi publik yang bermakna, tidak asal-asalan ada draf dan merasa telah libatkan publik," kata Herlambang dalam pesan tertulisnya kepada Tempo, Senin, 3 Juni 2024.
Dia menjelaskan bahwa seharusnya polemik revisi UU Penyiaran tidak terjadi jika pembentuk undang-undang telah membentuk naskah akademik yang mendukung. Menurut dia, revisi undang-undang perlu memerhatikan urgensi sebagai dasar pertimbangan.
Naskah akademik, Herlambang menyampaikan, sangat penting untuk dibuka di ruang publik. Dia menegaskan pertanggungjawaban secara keilmuan menjadi bagian mendasar dalam mendorong pembaruan hukum yang lebih kuat.
Ahli hukum dan hak asasi manusia (HAM) itu juga menekankan jika proses keterbukaan ini tak terjadi, maka wajar bila publik menilai revisi UU Penyiaran berkhianat terhadap prinsip dasar negara hukum dan mematikan kebebasan pers.
Herlambang menjabarkan bahwa pendekatan pembaruan hukum dalam revisi UU Penyiaran tidak mempertimbangkan perspektif masalah yang hendak dipecahkan. Sebaliknya, kata dia, perumusan revisi aturan itu tak punya landasan dan justru menimbulkan masalah.
"Saya berharap praktik abusive law making ini dihentikan dan tak terulang," tuturnya.
Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 usulan Komisi I DPR RI Tentang Penyiaran atau RUU Penyiaran menuai kritik keras dari berbagai kalangan, khususnya insan pers nasional.
Sejumlah pasal draf revisi UU Penyiaran yang disusun oleh Komisi I DPR RI ini, dinilai akan memberangus kebebasan pers dan merenggut hak konstitusional masyarakat untuk memperoleh informasi. Proses perumusannya pun tidak melibatkan partisipasi masyarakat atau pihak yang berkepentingan sehingga berpotensi terjadi tumpang tindih aturan.
Salah satunya, Pasal 8A huruf (q) draf Revisi UU Penyiaran, disebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Selain itu, pasal 42 ayat 2 juga menyebut bahwa sengketa jurnalistik diurusi KPI.
SAVERO ARISTIA WIENANTO | NI KADEK TRISNA CINTYA DEWI
Pilihan Editor: PKB Keluarkan Rekomendasi untuk 35 Bakal Calon Kepala Daerah, Ini Daftarnya