TEMPO.CO, Batam - Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) Nukila Evanty menemukan kondisi masyarakat adat suku Laut di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau dalam keadaan memprihatinkan, baik secara ekonomi, sosial dan budaya. Lebih parah lagi, Nukila menemukan, adanya perkawinan anak di satu suku di Batam akibat akses pendidikan yang tidak layak.
Temuan itu didapati Nukila saat menjalankan program fellow International Indigenous Women’s Forum (FIMI) selama dua hari pada tanggal 16 dan 17 Mei 2024. Lokasi penelitian berlangsung di dua kampung suku Laut, yaitu di Suku Laut Air Mas, Pulau Tanjung Sauh, Nongsa Batam dan suku Laut Pulau Dare Belakang Padang, Kota Batam.
“Saya berkesempatan untuk melakukan riset dan sekaligus advokasi pada perempuan suku Laut (the Sea Peoples) yang berada di Kepulauan Riau. Tujuan penelitian atau riset ini menyasar pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah memahami tantangan yang dialami suku Laut tersebut, terutama perempuan dan anak-anak serta melakukan intervensi program untuk membantu suku Laut,” kata Nukila dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Nukila, secara keseluruhan kondisi masyarakat adat suku Laut di Batam tidak diperhatikan. “Kami melihat kondisi mereka begitu miris dan menyedikan, terutama bagi perempuan dan anak-anak suku Laut,” kata dia.
Nukila membeberkan, beberapa temuanya di lapangan. Selain kondisi ekonomi masyarakat suku Laut yang kekurangan, ia mendapati cerita dari masyarakat bahwa banyak anak-anak, terutama perempuan yang masuk dalam lingkaran perkawinan anak.
"Kami menemukan fenomena menikah di usia anak-anak yang terjadi di suku laut ini, umumnya mereka menikah yaitu umur 12 tahun - 17 tahun, padahal umur menikah harus di atas 18 tahun," kata Nukila.
Suku Laut di dua lokasi ini juga mengalami pemaksaan penyeragaman atau uniformity sehingga identitas dan kebanggaan mereka akan tradisi suku Laut sudah mulai hilang. "Seperti adanya tradisi melaut pakai perahu dengan atap kajang, yang terbuat dari daun," kata Nukila.
Ada juga budaya lainnya, seperti bahasa suku Laut, keyakinan nenek moyang, serta cara melaut suku Laut yang biasanya pakai tombak. "Semuanya sudah mulai tergerus, bahkan lama-lama akan hilang," ujarnya.
Kondisi lain yang ditemukan Nukila, yaitu dipaksanya masyarakat adat suku Laut untuk pindah ke darat dengan bantuan rumah yang diiming-imingkan kehidupan lebih baik. Padahal bantuan rumah dari pemerintah tidak sesuai dengan standard right to adequate housing (rumah yang layak huni).
"Standar rumah yang baik itu adalah tidak sekedar didirikan rumah, tetapi dipikirkan juga kepemilikan tanah (land ownership), sanitasi, kesejahteraan keluarga dirumah itu," kata Nukila.
Beberapa suku Laut yang ditemukan Nukila bercerita bahwa sekarang mencari ikan semakin sulit bagi mereka. Bahkan untuk membeli makanan bernutrisi juga sulit karena ketidakmampuan membeli beras dan makanan bergizi lainnya.
"Kami juga menemukan kurangnya klinik kesehatan di perkampungan suku Laut, perlindungan buat penyandang disabilitas juga, ada beberapa perempuan di suku Laut itu yang sudah lansia susah payah mendapatkan kursi roda untuk penyangga mereka bisa berjalan," kata Nukila.
Akses Pendidikan yang Tidak Layak
Dari sektor pendidikan, anak-anak suku Laut juga kesulitan dalam akses yang layak. Mereka harus naik kapal kayu untuk pergi sekolah yang jaraknya berada cukup jauh dari pulau tempat mereka tinggal.
"Akhirnya karena akses yang sulit dan mahal, banyak dari anak-anak suku Laut memilih berhenti dan melaut, serta yang perempuan memilih untuk menikah di usia anak-anak," kata Nukila.
Selain akhirnya menyebabkan pernikahan di bawah umur, banyak anak-anak suku Laut yang akhirnya buta huruf. "Kami melihat belum ada program pemerintah yang serius menangani masalah ini," kata Nukila.
Ancaman Industri terhadap Ruang Hidup Suku Laut
Terakhir, IMA juga memaparkan masifnya berdirinya kawasan industri di pesisir Pulau Batam yang lokasinya berdekatan dengan pulau-pulau kecil tempat tinggal suku Laut yang membuat ruang hidup dan mata pencaharian suku Laut rusak. "Setidaknya kami menemukan ada proyek pembangunan dan industri ekstratif masuk ke wilayah di sekitar kediaman suku laut," kata Nukila.
Dari hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat adat suku Laut, mereka mengatakan laut rusak karena industri pesisir di Pulau Batam. Kegiatan industri itu menyebabkan, air laut keruh, tercemar, terumbu karang mati dan ikan-ikan pun menjauh.
Bahkan, kata Nukila, suku Laut tidak pernah dilibatkan dalam pembangunan ini, termasuk soal persetujuan. "Ketika mereka (masyarakat adat suku Laut) protes, ganjarannya adalah kriminalisasi, mereka akan terseret ke ranah hukum," ujarnya. "Sekarang suku Laut menjadi suku yang tak dianggap padahal lautan ini dahulunya adalah habitat tempat tinggal mereka."
Nukila meminta pemerintah pusat dan daerah untuk memperhatikan nasib suku Laut di Batam ini. Seperti memberikan akses pendidikan yang layak serta memberikan pengakuan atas suku Laut sebagai masyarakat adat yang berhak diakui budaya, bahasa dan lingkungannya.
"Kami juga meminta pemerintah untuk memastikan bisnis-bisnis di Kepulauan Riau patuh pada UNGPs (United Nations Guiding Principle on Business and Human Rights) yaitu panduan berbisnis yang menghormati HAM, memastikan bahwa harus ada analisa dampak sosial, ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat yang terkena dari suatu proyek pembangunan," kata Nukila.
Menurut Nukila, jika komitmen SDGs tidak diterapkan pemerintah Kota Batam ataupun Provinsi Kepri tentu pemerintah akan rugi sendiri, karena tidak mematuhi komitmen internasioal itu.
Tanggapan Kepala Dinsos Batam
Kepala Dinas Sosial Kota Batam, Leo Putra mengatakan, akan segera melakukan pemeriksaan terkait kondisi suku Laut di Pulau Tanjung Sauh Ngenang. "(Suku laut) Pulau Ngenan belum kita lacak, beri kami waktu," kata dia saat dihubungi Tempo, Jumat, 24 Mei 2024.
Selama ini, menurut Leo, suku Laut yang berada di tiga pulau terpisah, termasuk Pulau Dare, Lingke dan Bertam sudah diperhatikan pemerintah. Termasuk juga beberapa kali Menteri Sosial datang langsung ke pulau-pulau itu.
"Di tiga pulau itu suku Laut sudah kita perhatikan, suku Laut ini terpencar, paling banyak kita pusatkan di tiga pulau itu, 100 persen kita punggut (suku Laut) superman-lah kita," kata Leo.
Pilihan Editor: Warga Rempang Protes Ada Organisasi Mengatasnamakan Suara Masyarakat