TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Badan Legislasi atau Baleg DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan bahwa pemberantasan korupsi cukup tanpa UU Perampasan Aset. Doli mengatakan bahwa DPR Masih melakukan konsolidasi untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam legislasi nasional 2025.
Doli mengatakan bahwa DPR dan pemerintah memiliki komitmen untuk memberantas korupsi. Namun, ihwal apakah untuk memberantas korupsi diperlukan pengesahan RUU Perampasan Aset, hal tersebut masih menjadi hal yang dikaji. "Ya sebetulnya kalau bicara tentang pemberantasan korupsi, tanpa kita membuat UU Perampasan Aset itu sudah cukup," kata Doli di kompleks Parlemen, Selasa, 29 Oktober 2024.
Namun, politikus Partai Golkar itu meminta publik untuk tidak prematur dalam menyimpulkan bahwa DPR menolak RUU Perampasan Aset masuk dalam Prolegnas. Ia mengatakan, DPR masih terus melakukan konsolidasi untuk mencari tahu mana UU yang diperlukan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi.
"Poin besarnya kalau soal perampasan aset, DPR dan pemerintah berkomitmen memberantas korupsi. Apakah UU yang diperlukan termasuk RUU Perampasan Aset? Ini yang sedang kami kaji," ujar Doli.
UU Perampasan Aset Banyak Halangan
RUU Perampasan Aset telah diinisiasi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pada 2008 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Kendati demikian, telah lebih dari satu dekade diusulkan, beleid tak kunjung.
RUU Perampasan Aset pun telah keluar masuk dalam Program Legislasi Nasional. Di 2008, Pusat Pelaporab dan Analisis Transaksi Keuangan menginisiasi penyusunan RUU Perampasan Aset tersebut. Lalu, di 2010 draf RUU Perampasan Aset selesai dibahas antarkementerian dan siap diserahkan kepada presiden untuk diusulkan kepada DPR RI.
Selanjutnya, pada 2012 Badan Pembinaan Hukum Nasional diberi mandat menyusun naskah akademik RUU Perampasan Aset tersebut. Lalu pada 2015, DPR memasukkan RUU Perampasan Aset ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah.
Pada 2019 RUU Perampasan Aset kembali diusulkan pemerintah kepads DPR. Hingga tenggat terlewati, pembahasannya tidak kunjung selesai. Kemudian pada 2021, Badan Legislasi DPR menghapus RUU Perampasan Aset dalam daftar prolegnas dengan alasan waktu terlalu singkat.
Kemudian, pada 2023 Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengirim surat presiden kepada Ketua DPR Puan Maharani agar Senayan segera membahas RUU Perampasan Aset tersebut. Sehingga, RUU Perampasan Aset kembali masuk dalam daftar prolegnas prioritas. Namun, hingga akhir 2023 draf tersebut tidak kunjung dibahas.
Pada 6 Februari 2024, DPR menutup sidang paripurna terakhir tanpa menyinggung soal RUU Perampasan Aset.
Dalam RUU Perampasan Aset, terdapat beberapa pasal yang dianggap krusial. Seperti pada Pasal 2 yang membahas perampasan aset tidak harus melalui proses pemidanaan pelaku. Kemudian di Pasal 3, perampasan aset tidak menghapus penuntutan kepada pelaku pencucian uang dan perampasan itu tidak bisa digugat. Selain itu, pasal-pasal yang dianggap krusial lainnya di Pasal 5, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 12, dan Pasal 17.
UU Perampasan Aset pun sudah tiga kali bongkar pasang draf. Draf pertama pada 2012 menyatakan obyek rampasan mesti merujuk pada putusan tindak pidana. Kemudian menteri memberikan izin sementara kepada pihak ketiga untuk menggunakan dan memanfaatkan aset.
Draf kedua, draf 2019. Dalam draf ini obyek rampasan tak bergantuk pada tindak pidana. Perampasan aset tak menghapus kewenangan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana.
Selanjutnya, draf terakhir, draf 2023. Dalam draf ini, obyek rampasan tak bergantung pada tindak pidana. Perampasan aset tak menghapuskan kewenangan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. Penyidik wajib menyerahkan aset tindak pidana yang disita kepada Jaksa Agung. Perubahan draf tersebut tak kunjung membuat DPR memulai bahasan UU Perampasan Aset di legislasi nasional.
ANANDA RIDHO SULISTYA | HAURA HAMIDAH | HENDRIK KHOIRUL | EKA YUDHA
Pilihan Editor: KPK Berharap Anggota DPR Baru Prioritaskan RUU Perampasan Aset yang Tak Tuntas Sejak 2012