TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, menyoroti wacana pembentukan kementerian baru di kabinet presiden terpilih Prabowo Subianto. Dia mengatakan hal itu merupakan keniscayaan.
"Sebuah keniscayaan konstitusional jika ada perubahan nomenklatur atau pembentukan kementerian baru dengan nomenklatur tertentu setelah Presiden mengucapkan sumpah," kata Fahri dalam keterangan resminya pada Jumat, 10 Mei 2024.
Adapun perubahan nomenklatur tersebut bisa dilakukan dengan cara merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dia menjelaskan, revisi aturan tersebut setelah presiden terpilih mengucapkan sumpah itu sah-sah saja.
"Tidak ada masalah, itu dibolehkan," ujar Fahri ketika dikonfirmasi Tempo.
Menurut Fahri, revisi UU 39/2008 dalam rangka penataan pembentukan kabinet adalah sesuatu constitutional will karena telah diatur dalam UUD 1945. Penambahan kementerian baru, kata dia, juga merupakan kewenangan presiden sesuai undang-undang.
"Konstitusi telah mengantisipasi untuk mengakomodasi keadaan kompleksitas urusan pemerintahan negara masa depan, dengan membuka kemungkinan presiden untuk menata serta menyesuaikan kebutuhan pembentukan lembaga kementerian," beber Fahri Bachmid.
Majalah Tempo dalam laporan utama bertajuk "Orang Lama Kabinet Baru" yang terbit pada 6 Mei 2024 mengungkapkan wacana Prabowo untuk menambah dari 34 menjadi 40 kementerian.
Menurut orang-orang dekat Prabowo, langkah ini diambil sebagai upaya membangun koalisi besar untuk menguasai Dewan Perwakilan Rakyat. Sehingga program pemerintah yang diusulkan dapat berjalan lancar. Kendati demikian, penambahan jumlah kementerian memerlukan revisi UU 39/2008 yang membatasi jumlah kementerian maksimal hanya 34.
Pilihan Editor: Prabowo Sebut Ada Partai Mengaku Miliki Bung Karno, Sindir PDIP?