TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Prabowo, presiden terpilih Pilpres 2024 kian mewujud. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto merangkul partai politik lain masuk ke koalisi pemerintahannya setelah ditetapkan sebagai presiden terpilih pada Rabu, 24 April 2024.
Setelah ditetapkan sebagai Presiden terpilih, Prabowo sudah menemui Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman memberi sinyal bahwa Prabowo akan membentuk koalisi gemuk dalam mengawal pemerintahannya ke depan. Koalisi gemuk itu akan beranggotakan Koalisi Indonesia Maju dan sejumlah partai politik pendukung calon presiden rival Prabowo dalam pemilihan presiden 2024. Termasuk PKS?
Berikut tanggapan pengamat soal koalisi Prabowo ke depan yang bakal gemuk.
1. Pengamat Asrinaldi: Mempermulus Pemerintahnya Mendatang
Pengamat politik Universitas Andalas Padang Asrinaldi menyatakan upaya Prabowo membuka pintu koalisi besar untuk mempermulus pemerintahnya mendatang. "Prabowo tentu ingin penyelenggara pemerintah yang dipimpin smooth, tidak ada ganjalan dari partai politik yang juga pemenang pemilu di legislatif," kata Asrinaldi saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis, 25 April 2024.
Menurutnya, kekuatan politik yang besar sangat diperlukan Prabowo untuk menjalankan program prioritas yang telah dicanangkan selama masa kampanye Pilpres 2024, termasuk melanjutkan pekerjaan Presiden Joko Widodo. Asrinaldi juga membantah anggapan akan ada perbedaan perlakuan antara partai lama yang sudah ada di Koalisi Indonesia Maju (KIM) dengan partai yang baru masuk setelah Prabowo-Gibran dinyatakan menang Pilpres 2024.
2. Pengamat Ujang Komaruddin: Prabowo Ingin Mendominasi Parlemen
Dikutip dari Koran Tempo edisi 25 Maret 2024, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin, berpendapat bahwa Prabowo Gibran membutuhkan tambahan koalisi jika ingin mendominasi parlemen. "Koalisi gemuk menjadi keharusan pemerintahan Prabowo Gibran agar di kabinet dan parlemen aman," kata Ujang, Ahad, 24 Maret 2024.
la menduga kuat Prabowo akan merangkul semua partai di DPR. Sebab, Prabowo pasti akan kesulitan merealisasi janji politiknya ketika tak memiliki dukungan kuat di parlemen. Namun, kata Ujang, kondisi tersebut akan sangat berbahaya ketika eksekutif hanya mengutamakan kepentingan pribadi maupun kelompoknya.
Eksekutif akan cenderung menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan karena pengawasan DPR melemah. "Checks and balances tidak akan ada. Lalu oposisinya akan bergeser kepada masyarakat sipil dan akademikus," kata dia.
3. Peneliti Wasisto: Kepentingan Elite
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo menilai koalisi gemuk cenderung hanya akan menguntungkan pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan. "(Manfaat) bagi publik sendiri sepertinya tak ada. Koalisi gemuk itu lebih ke kepentingan elite," kata Wasisto, Rabu, 24 April 2024.
la berpendapat koalisi partai politik pendukung pemerintah yang gemuk akan berdampak buruk terhadap demokrasi. Sebab, mekanisme pengawasan dan kontrol DPR terhadap eksekutif akan berkurang.
Di samping itu, ada potensi penyeragaman narasi dan kepentingan sehingga aspirasi yang berbeda maupun kritik belum tentu terakomodasi. "Melemahnya oposisi tentu berpotensi adanya penyalahgunaan kekuasaan, baik langsung maupun tak langsung, dari pemerintahan berkuasa," katanya.
4. Peneliti Usep Saepul: Berbahaya Bagi Keberlangsungan Demokrasi
Peneliti senior Populi Center, Usep Saepul Akhyar, mengatakan koalisi besar Prabowo ingin memastikan program kerja dan agenda politiknya tidak tersumbat di DPR. Namun, kata dia, situasi tersebut akan sangat berbahaya terhadap keberlangsungan demokrasi.
"Jika semua partai politik dirangkul, pemerintah dapat seenaknya menjalankan agendanya. Atau bisa jadi otoriter dengan menggunakan kedok demokrasi," kata Usep.
Usep juga khawatir ketika semua partai politik bergabung ke koalisi pemerintahan Prabowo- Gibran. Dampaknya, partai politik di parlemen hanya akan menjadi perpanjangan tangan eksekutif. "Ini mirip di Orde Baru, semua lembaga, termasuk legislatif, hanya pura-pura. Padahal mereka tidak melakukan fungsi legislatif dengan baik," demikian Usep.
Prabowo-Gibran tengah merangkul rival politiknya dalam pemilihan presiden untuk bergabung ke koalisi Prabowo.
5. Pengamat Politik Adi Prayitno: Koalisi Gemuk Berdampak Buruk Terhadap Demokrasi
Dikutip dari Koran Tempo edisi 26 Maret 2024, pengajar politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, mengatakan ketiadaan partai politik oposisi atau di luar pemerintahan bakal berakibat buruk terhadap demokrasi. Dalam konteks pemilu, misalnya, pemilihan yang dilangsungkan dengan anggaran besar menjadi tidak memiliki fungsi.
"Jika pihak yang kalah akhirnya menerima bagian dari kekuasaan, untuk apa ada pemilu?" kata Adi, Kamis kemarin.
Menurut Adi, demokrasi akan berjalan baik ketika kekuatan politik antara eksekutif dan legislatif berimbang. Kekuatan oposisi atau partai politik di luar pemerintahan dibutuhkan untuk mengawasi presiden dalam menjalankan pemerintahan. "Fungsi pengawasan kubu yang kalah terhadap pihak yang menang dan dalam menjalankan kekuasaan tidak boleh ditiadakan," katanya.
6. Peneliti Siti Zuhro: Prabowo Hendak Memperluas Kuasa Pemerintah
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, mengatakan upaya Prabowo merangkul lawan politik menjadi pertanda hendak memperluas kuasa pemerintah. Sebab, Prabowo membutuhkan dukungan partai politik yang kuat di parlemen.
Siti Zuhro mengatakan Prabowo menyadari pemerintahannya butuh kekuatan mayoritas di DPR. Tapi rencana Prabowo merangkul banyak partai politik di luar partai pendukungnya dalam pemilihan itu akan memicu bagi-bagi kekuasaan yang makin besar. "Makin gemuk koalisi, makin banyak juga yang harus mendapat jatah di kabinet," kata Siti Zuhro.
7. Pengamat Agung Baskoro: Fungsi Pengawasan Legislatif Tak Optimal.
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro menyebut koalisi Prabowo yakni merangkul mayoritas parpol di DPR ke barisan pemerintah menyebabkan fungsi pengawasan legislatif tidak berjalan optimal. Sebab, partai politik di DPR akan tersandera oleh kepentingan eksekutif.
Menurut dia, politik bagi-bagi kekuasaan ini juga akan berakibat buruk terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran nantinya. Sebab, porsi kabinet pasti akan lebih banyak diisi oleh kader partai politik pendukung pemerintah dan para koleganya dibanding menteri dari kalangan profesional. Pengisian kabinet juga bisa jadi tak mempertimbangkan kapasitas, melainkan lebih melihat proporsional jatah setiap partai pendukung pemerintah.
KHUMAR MAHENDRA | ANDI ADAM FATURAHMAN | ANTARANEWS
Pilihan editor: PKS Beri Sinyal Gabung ke Koalisi Prabowo, Gerindra Bilang Belum Pernah Komunikasi Langsung