TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa pilpres yang menolak secara keseluruhan permohonan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.
"Melalui putusan ini, banyak sekali pekerjaan rumah (PR) perbaikan," ujar Uceng, sapaannya, dalam diskusi virtual yang digelar Pandekha FH UGM pada Selasa, 23 Maret 2024.
Dia menjelaskan, pekerjaan rumah tersebut adalah melakukan perbaikan terhadap Komisi Pemilihan Umum atau KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu, serta sistem rekapitulasi perolehan suara dalam pemilu.
"Nah terkhusus sebenarnya yang pasti diamini semua orang, hakim MK sendiri menyampaikan, semuanya adalah perbaikan untuk melakukan pengawasan terhadap presiden karena gejala pelanggaran presiden besar sekali," tutur Uceng.
Ia juga menyebut ada amanat perbaikan untuk pengawasan terhadap presiden dalam penyelenggaraan pemilu. Hal ini perlu ada aturan untuk mengawasi presiden, baik dia sebagai petahana yang mencalonkan diri kembali dalam pemilu maupun tidak.
"Harusnya presiden itu dikencangkan aturannya, sayangnya kita tidak melakukan apa-apa di situ. Jadi, ada banyak pekerjaan rumah," kata dia.
Zainal juga menyebutkan adanya pekerjaan rumah dalam hukum acara PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2024 di MK. Dalam hal ini, dia menyoroti batasan waktu 14 hari kerja yang dinilai tidak ideal, khususnya untuk membuktikan dalil permohonan.
"Makanya, kenapa kemudian ketika pembuktian dipaksakan 1 hari, ini misalnya ya, dan semua harus diselesaikan 1 hari, dibatasi jumlah saksi, ahli, dan lain sebagainya, tidak semua dalil permohonan bisa dibuktikan," ujar Zainal.
Sebelumnya diberitakan, hakim Mahkamah Konstitusi telah menolak dalil kedua pemohon sengketa pilpres, yakni Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud pada Senin, 22 April 2024. Kendati demikian, putusan MK tidak bulat.
Sebab, ada tiga hakim konstitusi yang memiliki dissenting opinion alias pendapat berbeda. Ketiganya adalah Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Enny Nurbaningsih.
Mereka bertiga berpendapat seharusnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian. Dalam dissenting opinion mereka, ketiganya menilai KPU seharusnya melakukan pemungutan suara ulang atau PSU di sejumlah wilayah.
ANTARA
Pilihan Editor: Respons PBNU dan Muhammadiyah terhadap Putusan MK