TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, menyebut, penyelesaian masalah Papua mestinya tidak bisa dibebankan kepada TNI dan Polri saja. Pemerintah harus menyelesaikan masalah di Papua dengan cara-cara yang komprehensif dan lintas sektor.
Khairul menyebut, dengan menggunakan cara lintas sektor bukan berarti pemerintah tidak boleh lagi melibatkan TNI dan Polri dalam penyelesaian masalah Papua.
"Pengutamaan dialog dan pendekatan lunak juga bukan berarti pendekatan keras harus dikesampingkan sama sekali," ucap Khairul dalam keterangannya yang dikutip pada Kamis, 18 April 2024.
Justru, kata Khairul, pendekatan yang diharapkan adalah adanya distribusi peran yang lebih relevan. Menurut dia, pendekatan keras dilakukan oleh TNI terhadap kelompok separatis dan oleh Polri terhadap pelaku kejahatan dan pengacau keamanan, sementara pendekatan lunak dilakukan multi sektor oleh kementerian atau lembaga pemerintahan lainnya.
Saat ini, Khairul menilai, penyelesaian konflik di Papua masih carut marut dan tumpang tindih. Pemerintah belum mampu mendefinisikan permasalahan di Papua secara konkret. Karena itu, penyelesaian masalah di Papua sepenuhnya kembali pada itikad pemerintah dan DPR.
"Apakah akan tetap memelihara keraguan serta membiarkan kondisi tumpang tindih dan carut marut ini berlanjut, atau bersedia mengambil langkah berani," kata dia.
Langkah berani yang dimaksud yaitu dengan merumuskan rencana aksi yang mencerminkan perubahan kebijakan atau keputusan politik dan dapat dijalankan secara simultan dan komprehensif.
Khairul juga mengatakan, pemerintah punya pekerjaan rumah untuk terus meningkatkan propaganda positif dan selalu membuka ruang dialog. Menurut dia, tekanan-tekanan yang dilakukan oleh TNI dan Polri harusnya tidak berdiri sendiri dan hanya dilakukan untuk menerobos kebuntuan politik.
"Penyelesaian konflik apalagi separatisme, pada akhirnya tetaplah merupakan proses politik yang harus disepakati dengan cara duduk bersama," ucap dia.
Adapun Komisi Nasional HAM atau Komnas HAM mencatat setidaknya ada 12 peristiwa kekerasan terjadi di Papua yang menyasar anggota TNI-Polri maupun warga sipil selama kurun waktu Maret-April 2024.
Komnas HAM menyatakan tidak kurang dari empat orang warga sipil dan lima orang anggota TNI-Polri mengalami luka; delapan orang meninggal yang terdiri dari lima orang anggota TNI-Polri dan tiga warga sipil, yaitu satu dewasa dan dua usia anak; serta dua orang perempuan menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS).
"Komnas HAM mendesak pengusutan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Papua secara transparan oleh aparat penegak hukum, serta penegakan hukum secara akuntabel terhadap pihak-pihak yang terlibat demi tegaknya supremasi hukum,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro lewat keterangan resminya, Ahad, 14 April 2024.
YOHANES MAHARSO | EKA YUDHA
Pilihan Editor: Kapendam Cendrawasih Bantah Tambah Pasukan TNI di Paniai Papua