INFO NASIONAL – Sejumlah akademisi mengapresiasi metode yang diterapkan Bupati Napatuli Utara, Nikson Nababan. Penggunaan data presisi yang menjadi dasar pembangunan desa di Tapanuli Utara semestinya dicontoh pemerintah daerah lainnya, bahkan perlu diadaptasi oleh pemerintah pusat dan diterapkan secara nasional.
Pernyataan itu terungkap saat peluncuran buku “Desa Kuat, Kota Maju, Negara Berdikari” karya Nikson Nababan di Pojok Toleng, Gedung Tempo, Jakarta, Selasa, 16 April 2024.
Dalam sesi diskusi untuk mengupas isi buku, tiga pembicara yakni Prof. Dr. Drs. H. Khasan Effedy M. Pd, Sarman Simanjorang SH., serta Dr. Sofyan Sjaf, SPT, M. Si mengakui paparan Nikson dalam buku berisi 226 halaman sangat cocok menjadi landasan pembangunan desa.
Sarman meyakini model pembangunan yang dipakai Nikson bisa diadopsi oleh kepala pemerintah daerah yang lain sehingga dapat menghindari penyalahgunaan Dana Desa. “Saat ini banyak yang disalahgunakan. Kenapa, karena mungkin desa tidak siap menggunakan dana tersebut,” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) itu.
Sarman menyebut sejumlah temuan di daerah yang membuktikan penyalahgunaan dana. Salah satunya banyak sekolah yang kosong. Masalah ini terjadi karena pemimpin daerah melakukan pembangunan mengikuti tren atau tuntutan regulasi, bukan berdasarkan data kebutuhan masyarakat.
“Berarti data tidak valid, hanya membangun untuk gagah-gagahan. Karena itulah dibutuhkan data yang presisi agar pembangunan tidak sia-sia,” ucap Sarman.
Kebutuhan atau needs ini menjadi salah satu model yang dipakai Nikson Nababan dalam bukunya. Adapun secara lengkap model yang dipakai bupati kelahiran 1972 itu disebut NIKSON, akronim dari Needs, Innovation, Knowledge, Synergy, Operation and Norm.
Model ini berlandaskan pada data yang presisi. Artinya, proses penyusunan perencanaan pembangunan didasarkan pada diagnosa masalah yang tepat. Guna mendapatkan diagnosa yang tepat tentu didasarkan pada data yang rinci, data by name, by address and by coordinate.
Sofyan Sjaf menyebut permasalahan di pemerintahan selama ini adalah tidak valid-nya data yang dikumpulkan. “Kalau seandainya data kita baik-baik saja maka tidak mungkin terjadi ketimpangan. Agregat kemiskinan di desa adalah agregat di kabupaten. Kalau ada perbedaan berarti ada yang missed atau luput,” kata Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB University itu. “Data kita sekarang juga belum memanfaatkan koordinat. Sedangkan metode yang dipakai Pak Nikson dengan drone bisa memetakan dengan tepat.”
Sedangkan Profesor Khasan Effedy sebagai Guru Besar IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) menyatakan ketidakakuratan data yang selama ini terjadi, selain menyebabkan pembangunan yang mubazir, juga membuka peluang korupsi.
Kebijakan pemerintah pusat menggelontorkan dana desa sekitar Rp 1 miliar kepada setiap desa, menurut Profesor Khasan, sejatinya memiliki tujuan positif, memindahkan pusat pembangunan dari kota ke desa.
Pembaharuan ini berlangsung sejak era reformasi. Sebelumnya, di era Order Baru, pembangunan berlangsung dari pusat atau top-down, sehingga terjadi ketimpangan pembangunan. Desa-desa tertinggal, sedangkan perkotaan semakin maju imbas perekonomian desa disedot ke kota.
Pembangunan model tersebut sejatinya bertentangan dengan konsep membangun negara yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa atau founding fathers. Dalam Pembangunan Nasional Semesta Berencana atau dikenal dengan konsep Pembangunan Semesta, justru tertuang upaya mensejahterakan desa.
Saat reformasi, kesadaran untuk membangun desa kembali mencuat, salah satunya melalui penerbitan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sebab itu, kemudian muncul kebijakan pemberian Dana Desa, dengan harapan pemerintah desa (supra desa) lebih memahami pembangunan yang tepat untuk desa tersebut.
Perkaranya, ujar Profesor Khasan, desa ternyata belum siap menerima dana yang cukup besar ini. Alih-alih menjalankan roda pembangunan, justru membuka peluang korupsi. “Misalkan sumbangan dari pemerintah (pusat) 100 ribu rupiah, nanti sampai ke desa hanya 24 ribu rupiah” ujarnya.
Ketidaksiapan desa terjadi karena tidak tersedianya data yang akurat. Karena itu, gagasan Nikson dalam bukunya patut mendapat apresiasi. “Metode NIKSON mencoba mengangkat persoalan desa, tidak hanya terukur pada persoalan finansial, tapi menjadikan rakyat yang madani,” kata Profesor Khasan.
Ia bahkan mendorong model NIKSON ini dibawa ke tingkat yang lebih tinggi. “Harus ada peran dari Kemendagri,” ujarnya. Selama ini, ia melanjutkan, terjadi gap di tingkat pemerintahan bawah. “Sruktur pemerintahan di desa putus. Hanya sampai kepala desa. Lalu putus di tingkat RT dan RW. Maka itu, Kemendagri harus mulai memetakkan ini.”
Adapun, buku “Desa Kuat, Kota Maju, Negara Berdikari” merupakan hasil desertasi Nikson Nababan untuk meraih gelar S3 di IPDN. Nikson bercerita, sebagai anak enam dari tujuh bersaudara, ketertarikannya untuk membangun daerahnya sudah terpatri sejak memilih universitas.
Ia berkuliah di STPDN (sebelum berganti nama menjadi IPDN) kemudian setelah lulus menjadi wartawan, yang semakin mengakrabkan dirinya dengan berbagai permasalahan yang dihadapi penduduk desa.
Saat dilantik menjadi Bupati Tapanuli Utara pada 2014, salah satu janji kampanyenya adalah menggelontorkan dana sebesar Rp 60 juta per desa. Ia juga mencermati anggaran daerah sehingga penggunaannya lebih terukur.
Berkat model NIKSON yang ia terapkan, selama dua periode memimpin dirinya mendapat 67 penghargaan di tingkat nasional dari berbagai institusi. Grup Tempo Media termasuk di antaranya, mendapuk Nikson dengan penghargaan pada 2023 untuk kategori Percepatan Infrastruktur.
Nikson menegaskan pentingnya membuat data yang presisi karena dapat melakukan berbagai penghematan. Salah satunya yakni menghemat biaya survei yang selama ini kerap dilakukan ketika pemerintah ingin membangun sesuatu. “Semua harus by data, jadi nggak perlu lagi survei yang dapat menghabiskan anggaran,” ujarnya.
Ia berharap buku yang ia tulis dapat menjadi inspirasi untuk membangun Indonesia secara menyeluruh. “Kalau ini jadi kebijakan nasional yang bersumber dari big data, kita bisa hitung semua dengan presisi. Dengan peluncuran buku ini, saya berharap bisa memberikan wacana bagi Indonesia tentang membangun Indonesia,” kata dia. (*)