TEMPO.CO, Jakarta - Delapan dari sembilan hakim konstitusi bakal segera menjatuhkan putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Anwar Usman menjadi hakim yang tidak diikutkan karena telah melakukan pelanggaran etik berat berdasarkan putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) nomor 2/MKMK/L/11/2023. Salah satu hukuman yang diterimanya adalah tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam sengketa PHPU.
Delapan hakim konstitusi yang bertugas menangani sengketa pilpres 2024, yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani.
Dari kedelapan hakim yang menangani sidang sengketa pilpres tersebut, ada sejumlah hakim MK mengungkapkan kejanggalan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat minimal usia capres-cawapres.
Putusan nomor 90 itu yang memberikan jalan keponakan Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Gibran merupakan anak Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Adapun tiga hakim menyampaikan keanehan dalam putusan nomor 90 itu lewat dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam sidang. Mereka yang menyampaikan dissenting oponion itu, yakni Hakim Konstitusi Suhartoyo, Saldi Isra, dan Arief Hidayat.
1. Suhartoyo
Dilansir dari laman Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Suhartoyo resmi menggantikan Anwar Usman sebagai ketua MK Pada 9 November 2023. Ia dipilih melalui musyawarah mufakat para hakim konstitusi dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Pergantian posisi ini bertalian dengan sanksi MKMK yang mencopot Anwar dari jabatan Ketua MK karena terbukti melanggar kode etik terkait perkara syarat usia minimal capres-cawapres.
Dalam dissenting opinion, Suhartoyo menyatakan tidak memberikan kedudukan hukum atau legal standing kepada para pemohon atas perkara nomor 29/PPU-XXI/2023 dan 51/PUU-XXI/2023.
Alasannya karena pemohon bukan subjek hukum yang berkepentingan langsung untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Karena itu, pemohon tidak relevan memohon untuk memaknai norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 untuk kepentingan pihak lain, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, sebagaimana dalam petitum permohonannya.
"Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan legal standing kepada pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan, sehingga dalam amar putusan a quo 'menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima'," kata Suhartoyo.
2. Saldi Isra
Joko Widodo resmi melantik Saldi Isra saat dia menjabat Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas. Saldi menggantikan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi masa jabatan 2017–2022 pada 11 April 2017. Pria kelahiran Paninggahan-Solok itu mengabdi pada Universitas Andalas hampir 22 tahun lamanya sambil menuntaskan pendidikan pascasarjana.
Dalam putusan perkara No. 90 tentang gugatan batas usia capres-cawapres, Saldi mengaku ada keanehan. “Sejak menapakkan kaki sebagai hakim konstitusi pada 11 April 2017, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa,” kata Saldi.
Menurut dia, Mahkamah mengubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat. Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.
3. Arief Hidayat
Arief dilantik menjadi hakim pada 1 April 2013 di Istana Negara dan dilantik oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Bagi Arief, MK bukanlah merupakan lembaga yang asing. Pria kelahiran Semarang ini bukan orang baru di dunia hukum, khususnya hukum tata negara.
Dalam pendapatnya, Arief mengatakan alasannya dissenting opinion karena banyak kejanggalan dalam proses persidangan hingga pengambilan putusan dalam perkara tersebut.
"Meskipun ini tidak melanggar hukum acara, namun penundaan perkara a quo berpotensi menunda keadilan dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri," kata Arief.
Dia juga menyebut bahwa pemohon Almas Tsaqibbirru telah memainkan kehormatan lembaga peradilan. “Menurut saya pemohon telah memainkan muruah lembaga peradilan dan tidak serius dalam mengajukan permohonan," ujarnya.
TIM TEMPO
Pilihan editor: TNI Kejar Pelaku Pembunuhan Danramil Aradide Papua yang Tewas Ditembak OPM