TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah tokoh politik dan pakar membedah buku NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971 karya Ken Ward (1972). Sebab, kejadian yang diceritakan pada buku tersebut dinilai berkaitan dengan situasi Pemilu saat ini.
Acara dihadiri oleh Hasto Kristiyanto selaku Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Sudirman Said selaku Co-captain Tim Nasional Anies-Muhaimin, Dr. Sarah Siregar sebagai peneliti masalah kepolisian dan pemilu dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Syafieq Alielha selaku Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Asvi Warman Adam selaku peneliti utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Usman Hamid sebagai pengajar dan UPN Veteran Jakarta dan Direktur Amnesty Internasional Indonesia.
Baca juga:
Para narasumber memaparkan mengenai sejarah Pemilu Indonesia, khususnya membandingkan kebobrokan, kecurangan, serta kekerasan terkait Pemilu 2024 yang serupa dengan Pemilu 1971.
Sarah mengungkap relevansi buku ini dengan kondisi sekarang ada pada tahun 1971 saat konsolidasi awal kekuasaan otoritarianisme. “Proses itu bisa kita baca hingga Soeharto jatuh. Apa yang terjadi di 1971, apakah fenomena ini kembali terjadi di Pemilu kita pasca reformasi?” katanya.
Menurut Usman, pemetaan Ken Ward seperti berulang pada pola kecurangan Pemilu 2024. “Pemerintah dan aparaturnya melakukan intimidasi kepada siapa saja yang melawan, polanya sama,” kata dia.
Usman juga membeberkan upaya Komnas HAM PBB yang mendesak kecurangan Pemilu 2024 karena keterlibatan Presiden Jokowi untuk memenangkan anaknya sebagai calon wakil presiden.
Sarah mengatakan, ada pola yang sama, tapi perbedaan yang mendasar adalah instrumen negara yang dipakai dan pola kekerasan. "Apa yang terjadi di 2024, kekerasan di sini semacam hegemoni bahwa kita tidak melihat atau merasakan secara langsung tapi takut dan was-was. Kita punya UU ITE dan bisa saja disalahgunakan," ujarnya.
Hal tersebut disebabkan karena minimnya pengawasan publik kepada instrumen negara. "Dimulai dari harus ada oposisi. Ini dua kali seperti ini polanya sama. Apakah kita membiarkan lagi pola-pola itu terulang kembali?" ujarnya.
Sudirman Said mengatakan memang betul terjadi persamaan kecurangan Pemilu seperti pada 1971. Menurut dia, masalah pada Pemilu sekarang terjadi karena ada peserta nomor 4.
“Yang keempat adalah Pak Jokowi, yang seharusnya sudah selesai tapi bermain di tengah jadi faktor dan unsur-unsur destruktif yang luar biasa,” kata Sudirman.
Sementara itu, Hasto Kristiyanto mengatakan arah yang membedakan Pemilu tahun ini dan 1971 adalah skenario abuse of power. “Ada kemiripan konsolidasi kepemimpinan Pak Soeharto dan Jokowi, dilihat secara akademis itu mirip. Kalau kita lihat modusnya, dari kepercayaan dirinya sama, dalam hal prestasi ekonomi. Pak Jokowi berdasarkan survey kepuasan,” ujarnya.
Untuk Pemilu tahun ini, Hasto menilai soft power yang dimiliki kubu 02 lebih hebat. “Ketika kita bicara kecurangan Pemilu dari hulu ke hilir, itu bukan karena kami tak rela kalah, tapi kerusakan yang terjadi, ini kekuatan represif yang baru, yang sumber dana dan kekuasaannya unlimited,” kata dia.
Pilihan Editor: Ma'ruf Amin Harap Panas Sengketa Pilpres di MK Tidak Belah Masyarakat