Wiranto-Salahuddin menggugat KPU ke MK dengan alasan mereka kehilangan 5,43 juta suara. Namun MK menolak permohonan itu pada 9 Agustus 2004 karena menilai pemohon gagal membuktikan kesalahan hasil penghitungan suara KPU.
2. Pilpres 2009: Gugatan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto
SBY kembali memenangi pilpres yang digelar 8 Juli 2009. Kali ini, dia berpasangan dengan mantan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia, Boediono. Selain SBY-Boediono, pilpres diikuti juga oleh pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto.
KPU menetapkan SBY-Boediono sebagai pemenang dengan perolehan 73.874.562 suara (60,80 persen) diikuti Megawati-Prabowo dengan 32.548.105 (26,79 persen) dan JK-Wiranto meraih 15.081.814 suara (12,41 persen).
Tak puas dengan hasil Pilpres, Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto menggugat ke MK. Megawati-Prabowo menuntut pilpres ulang di seluruh Indonesia atau sedikitnya di 25 provinsi karena mereka menduga ada penggelembungan suara 28.658.634 untuk SBY-Boediono. Adapun JK-Wiranto mengklaim menemukan pemilih ganda dalam DPT dan mempermasalahkan data DPT berubah dua hari sebelum pemungutan suara serta adanya pengurangan TPS.
Dalam amar putusan yang dibacakan pada 12 Agustus 2009, MK menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya.
3. Pilpres 2014: Gugatan Prabowo-Hatta Rajasa
Pilpres 2014 digelar pada 9 Juli dan diikuti oleh dua pasangan calon, yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pada 22 Juli 2014, KPU menetapkan Jokowi-Kalla sebagai pemenang pilpres dengan 70.997.833 suara (53,14 persen). Adapun Prabowo-Hatta meraih 62.576.444 suara (46,85 persen).
Tak terima dengan hasil rekapitulasi KPU, Prabowo-Hatta mengajukan gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) ke MK pada 25 Juli 2014. Mereka menduga telah terjadi kecurangan di 52 ribu TPS di seluruh Indonesia yang melibatkan 21 juta suara, tetapi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan tuduhan ini tidak berdasar dan rekapitulasi KPU berlangsung transparan.