TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini merekomendasikan agar DPR merevisi persentase parliamentary threshold untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2029 dengan besaran 1 persen. Angka ini merujuk pada argumentasi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam permohonan gugatan uji materi Pasal 414 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi.
"Ini mampu menyaring partai politik yang memiliki dukungan signifikan dan dapat memperkecil suara terbuang," kata Titi kepada Tempo, Jumat, 1 Maret 2024.
Penggunaan parliamentary threshold 1 persen ini pernah diterapkan pada Pemilu 2009 dan 2019 dengan hasil yang masih tidak proporsional. Namun, kata dia, penerapannya mampu menurunkan indeks LSQ dan LHI. "Sehingga hasil Pemilu 2009 dan 2019 mendekati semiproporsional," ujar Titi.
Alternatif lainnya, kata Titi, DPR bisa melakukan penyederhanaan besaran daerah pemilihan dan alokasi kursi. Dengan demikian suara sah pemilih tetap diperhitungkan dalam konversi suara menjadi kursi, namun konsep penyederhanaan tetap bisa dilakukan melalui penyederhanaan jumlah kursi yang diperbutkan. "Atau bisa juga menerapkan ambang batas pembentukan fraksi," ucapnya.
Pembentukan fraksi ini nantinya akan membuat partai-partai yang memperoleh kursi sedikit bergabung dengan partai lain sehingga bisa memenuhi syarat untuk pembentukan fraksi.
Dihubungi terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengatakan secara ideal, parliamentery threshold harus dihapus dalam penyelenggaraan pemilu. Namun, kalaupun tetap diterapkan ambang batas sebesar 1 persen, hal tersebut harus dibarengi dengan rasionalisasi yang memadai.
"Tetapi, kalau tujuannya soal penyederhanaan partai, jangan ambang batasnya yang diatur," kata Herdiansyah.
DPR, menurut dia, mestinya merevisi Undang-Undang tentang Pemilu, khususnya pada Pasal 414 Ayat 1 dengan mengurangi jumlah daerah pemilihan. "Misalnya, jumlah kursi per dapil maksimal 6-8 kursi," ujarnya.
Anggota Komisi Pemerintahan DPR Guspardi Gaus sebelumnya mengatakan DPR tidak akan mengubah persentase ambang batas parlemen hingga ke 0 persen. Sebab, penghapusan ambang batas parlemen bakal menjadi kendala bagi dinamika DPR dalam menata para calon anggota legislator terpilih.
"Putusan MK kan tidak melarang ambang batas, hanya tidak aspiratif jika 4 persen," kata Guspardi.
Meski begitu, Guspardi mengklaim, DPR akan menindaklanjuti hasil putusan tersebut sesuai dengan syarat-syarat yang dimintakan Mahkamah. "Jadi yang dievaluasi adalah nilai 4 persennya. Bukan dihilangkan ambang batas parlemennya," ujarnya.
Nantinya, politikus Partai Amanat Nasional itu melanjutkan, fraksi-fraksi partai politik di Komisi Pemerintahan akan saling menyampaikan pandangannya terkait besaran persentase ambang batas parlemen. "Jadi nanti apakah 3 atau 2 persen. Yang pasti tidak akan 0 persen," ucap Guspardi.
Adapun gugatan uji materi yang dimohonkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengenai ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 29 Februari lalu. Para hakim konstitusi sepakat bahwa ketentuan ambang batas parlemen itu tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu dan melanggar kepastian hukum yang telah dijamin konstitusi.
MK memutuskan norma Pasal 414 ayat 1 UU Pemilu adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya, sepanjang telah dilakukan perubahan ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan. "Mengabulkan permohonan pemohon unt sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan dalam Sidang Pleno MK.
Pilihan Editor: Masih Berlaku untuk Pemilu 2024, Apa Maksud Ambang Batas Parlemen 4 Persen?