TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja menolak merincikan kasus dugaan jual beli suara pemilihan umum atau Pemilu 2024. Kasus memperdagangkan surat suara ini diduga terjadi di Malaysia, Kuala Lumpur.
"Nanti, kan lagi penyelidikan," kata Rahmat, saat ditemui di kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP, di Jalan Abdul Muis No. 2-4, Kelurahan Petojo Selatan, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Senin, 26 Februari 2024.
Rahmat juga tak mau membocorkan siapa yang ada di balik kasus dugaan jual beli surat suara tersebut. Dia mengatakan belum dapat membuka informasi dugaan jual-beli surat suara tersebut. Alasannya kasus itu masih dalam proses penyelidikan.
Rahmat juga menolak menyampaikan kapan proses penyelidikan dugaan perdagangan surat suara itu berlangsung. Dia hanya menyampaikan kasus ini masih dalam penelusuran Panitia Pengawas Pemilu Luar Negeri atau PPLN Malaysia bersama Penegakan Hukum Terpadu. Gakkumdu merupakan personil gabungan dari Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan.
Sebelumnya dugaan perdagangan surat suara ini diungkap Migrant Care. Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menyatakan modus jual beli kertas suara di Malaysia itu seperti suplay and demand. Bahkan harga per satu surat suara dihargai sekitar Rp 90 ribu-120 ribu.
Menurut temuan Migrant Care, kasus ini didominasi oleh surat suara yang dikirim kepada pemilih melalui pos. Kertas suara itu hanya berhenti pada kotak pos yang ada di apartemen, tempat tinggal warga negara Indonesia atau WNI. "Nah, di situ banyak calo-calo surat suara menjaga kotak pos itu," kata dia. Di situlah surat suara dimanfaatkan para calo.
Menurut Wahyu, satu flat apartemen bisa menampung ribuan orang. Para WNI ini kebanyakan tinggal dengan para majikannya. "Misalnya ada sepuluh flat, berarti ada 10 ribu surat suara, kan," ujar dia, saat dihubungi pada Ahad malam, 25 Februari 2024.
Pilihan Editor: TPS Gelar PSU Ulang, Perkuat Dugaan Kecurangan Pemilu 2024?