TEMPO.CO, Jakarta - Calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo mengusulkan agar partai pendukungnya yaitu PDIP dan PPP yang ada di parlemen menggulirkan hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pada Pemilu 2024. Usul itu mengemuka seiring pelbagai tudingan kecurangan usai hitung cepat hasil pemilihan presiden atau Pilpres 2024.
Wacana hak angket DPR itu disikapi secara berbeda oleh pelbagai pihak, termasuk oleh para pakar hukum tata negara. Bagaimana sikap mereka?
1. Herdiansyah Hamzah
Menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, penggunaan hak angket untuk mendorong DPR mengusut dugaan kecurangan pada Pemilu 2024 bisa berujung pada pemakzulan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dia menyebutkan alur hak angket berawal dari persetujuan di DPR, lalu berlanjut dengan proses penggunaan hak menyatakan pendapat.
Dia mengatakan hak menyatakan pendapat itu kemudian akan diuji di Mahkamah Konstitusi atau MK yang akan menyatakan adanya pelanggaran serius Presiden terhadap undang-undang.
“Setelah itu, DPR dapat melakukan proses impeachment,” kata Herdiansyah seperti dikutip dalam Koran Tempo edisi Jumat, 23 Februari 2024.
2. Jimly Asshiddiqie
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, menilai rencana penggunaan hak angket sebagai proses politik di DPR harus dilihat secara positif dalam rangka penguatan sistem demokrasi yang berkualitas.
Mantan Ketua MK dan Majelis Kehormatan MK itu mengatakan hak angket selalu digunakan oleh DPR pada masa pemerintahan B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
"Hak angket oleh DPR mencerminkan berjalannya fungsi checks and balances antarcabang kekuasaan eksekutif vs legislatif sebagai perwujudan sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945," ujar Jimly dalam keterangan tertulis pada Ahad, 25 Februari 2024.
Jimly menilai proses hukum penyelesaian perkara harus pula dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menyalurkan aspirasi ketidakpuasan terhadap proses dan hasil pemilu. Dia mengatakan proses hukum itu dapat melalui peradilan administrasi di Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu dan PT-TUN, peradilan pidana pemilu di peradilan umum, dan peradilan hasil pemilu di MK.