TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Perfilman, Hikmat Darmawan, menanggapi soal laporan pidana ke polisi terhadap sutradara dan tiga pakar hukum tata negara yang menjadi pemeran dalam film dokumenter Dirty Vote.
Laporan dilayangkan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi) ke Mabes Polri dengan terlapor Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, Bivitri Susanti beserta Dandhy Laksono selaku sutradara.
Hikmat menilai film dokumenter tersebut mengandung unsur edukasi soal Pemilu 2024. “Ini suatu hal yang layak diperjuangkan sebagai sebuah kebebasan. Bukan hanya berekspresi, tapi juga edukasi,” ujarnya kepada Tempo, Kamis, 15 Februari 2024.
“Di sini ada hak masyarakat untuk mendapatkannya. Paling tidak (film ini) jelas argumennya, bukan sekedar opini warung kopi saja. Ini para ahli, aktivis, yang punya pengalaman banyak dalam dunia politik," kata Hikmat.
Menurut Hikmat, film Dirty Vote itu bertujuan memberikan pendidikan politik dan edukasi berdemokrasi. “Sehingga mau tidak mau ada keberpihakan dan frame. Tapi kalau dianggap hanya sekedar ingin merugikan salah satu calon, saya kira tidak,” kata dia.
Hikmat mempertanyakan laporan pidana terhadap sutradara dan narasumber dalam film dokumenter Dirty Vote. "Ini kan memang menyampaikan fakta. Dia ibarat seperti liputan tapi punya frame movement, yaitu menginginkan sebuah perubahan cara pikir dan sikap, atau kesadaran, yang dalam hal ini kesadaran politik.”
Foksi melaporkan sutradara dan tiga pakar hukum yang menjadi pemeran dalam film dokumenter Dirty Vote, Selasa, 13 Februari 2024. Ketua Umum Foksi M. Natsir Sahib menilai Dirty Vote yang membahas dugaan kecurangan pemilu 2024 itu merugikan salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang ikut berkontestasi.
SAVERO ARISTIA | DEFARA DHANYA