Mereka pun mengatakan keresahan ini terjadi karena sejak 2019 mereka telah turun ke jalan untuk memprotes banyak hal yang mengancam demokrasi.
"Ada revisi UU KPK, terbitnya UU Ciptakerja, revisi UU ITE, dan lainnya. Justru hari ini, di tengah perhelatan Pemilu 2024, kita menyaksikan demokrasi sedang menuju ambang kematiannya," kata dia.
Menurutnya, di bawah Jokowi, rakyat disuguhi serangkaian tindakan pengangkangan etik dan penghancuran pagar-pagar demokrasi yang dilakukan oleh kekuasaan. Para penguasa dengan tidak malu menunjukkan praktik-praktik korup demi langgengnya kekuasaan.
"Konstitusi dibajak untuk melegalkan kepentingan pribadi dan golongannya. Melihat ini semua, rasanya demokrasi Indonesia bukan hanya sekedar mundur atau pun cacat, tetapi sedang sekarat," kata dia.
Rubiansyah mengatakan, kekuasaan telah merusak pagar yang menjaga agar demokrasi tetap hidup dan terus dapat dirayakan.
"Jika pada akhirnya demokrasi kita, demokrasi milik rakyat Indonesia ini, mati, maka sejarah akan mengingat siapa saja pembunuhnya," imbuh dia.
Untuk itu, kata Rubiansyah, menjadi keharusan bagi seluruh pihak untuk menyadarkan kekuasaan atas perbuatannya.
"Tolong bantu kami mengingat, bukankah peran yang Pak Tik dan Mas Ari ambil dalam pusaran kekuasaan adalah suatu bentuk upaya untuk menjawab tantangan tersebut? Ijinkan kami kaitkan hal itu dengan pelajaran yang pernah kami dapat di DPP Fisipol," kata dia.
Antonio Gramsci, pemikir yang sangat sering dikutip oleh Mas Ari, kata dia, membedakan kaum intelektual menjadi dua jenis intelektual tradisional dan intelektual organik.
Sedangkan intelektual tradisional adalah sekelompok intelektual yang membantu melegitimasi kekuasaan kelas penguasa. Para intelektual tradisional ini menjadi alat para penguasa dalam mengokohkan konsolidasi mereka atas kekuasaan.
Dan dalam konteks saat ini, intelektual hanya menjadi instrumen penjustifikasi bagi penguasa dalam melegitimasi kebijakan yang cenderung mendorong kemunduran demokrasi.
Intelektual organik, kata dia, didefinisikan Gramsci sebagai intelektual yang kritis pada kekuasaan, berpikir bebas, dan berlandaskan nilai kemanusiaan.
Intelektual organik memang bisa menjadi ancaman utama terhadap ambisi-ambisi licik kelas penguasa. Mereka mampu meriyadari segala niat busuk penguasa yang berlindung dibalik diksi stabilitas, yang sejatinya bermakna stabilitas bagi upaya konsolidasi kekuasaan yang semena-mena.
Di luar klasifikasi biner ala Gramsci, terdapat satu jalur alternatif bagi para intelektual yang oleh guru kami yang lain, koleganya Pak Tik dan gurunya Mas Ari, yakni Mas Cornelis Lay atau Conny disebut sebagai intelektual jalan ketiga.
Jalur alternatif ini adalah jawaban dari peran yang dilematis bagi para intelektual untuk menjadi bagian dari kekuasaan, atau menjauhinya atas dasar nilai kemanusiaan.
Poin utamanya adalah bagaimana para intelektual bisa bersahabat dengan kekuasaan tetapi tetap membawa nilai dasar intelektual, demi kepentingan pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan.
"Pemerintahan saat ini jelas berada dalam upaya melanggengkan kekuasaan, terbilang tidakanti-intelektual dan malah mendegradasi intelektualisme, tetapi justru disokong oleh banyak intelektual sebagai instrumen stempel dan pihak justifikasi kebijakan penguasa," kata dia.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Cornelis Lay mengungkap dosa terbesar kaum intelektual tidak diperhitungkan berdasarkan jumlah kesalahan yang
dibuat, tetapi oleh kebohongan dan ketakutan dalam mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya.
"Jalur intelektual jalan ketiga ini bagi kami adalah jalur yang ideal bagi para akademisi yang memutuskan untuk mengambil peran dalam kekuasaan tanpa mengkhianati nilai-nilai prinsipal yang dipegang," kata dia
Jalur itulah yang seharusnya diyakini dengan teguh oleh setiap akademisi, saat mereka memberanikan diri naik ke panggung kekuasaan.
"Sebagai pembelajar ilmu politik sekaligus murid-muridnya Pak Tik dan Mas Ari, kami menyadari bahwa segala permasalahan terkait kemerosotan demokrasi adalah permasalahan sistemik yang disebabkan oleh banyak aktor," katanya.
Surat itu pun mengatakan bahwa ini bukan kesalahan Pratik dan Ari semata. "Namun, biar bagaimana pun kami menyadari, dua guru kami telah menjadi bagian dari persoalan bangsa. Untuk itu, ijinkan kami mewakili Pak Tik dan Mas Ari menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas hal itu,"
Rubiansyah mengatakan, bagi mereka Pratikno dan Ari Dwipayana adalah guru, rekan, sahabat, kerabat, dan bapak.
"Hari ini kami berseru bersama: kembalilah pulang. Kembalilah membersamai yang tertinggal, yang tertindas, yang tersingkirkan. Kembalilah ke demokrasi; dan kembalilah mengajarkannya kepada kami, satunya kata dan perbuatan," ujar dia.
Pilihan Editor: Rencana Jadwal Pilpres 2024 Jika Berlangsung Dua Putaran