TEMPO.CO, Jakarta - Calon wakil presiden Mahfud Md. mengakui menerima laporan adanya operasi menekan sejumlah rektor di kampus guna meredam petisi akademisi yang mengkritik pemerintah Presiden Joko Widodo. Dia mengatakan sejumlah rektor diminta untuk membuat testimoni soal pemerintah Jokowi yang baik.
“Rektor-rektor ini diminta menyatakan sikap untuk mengatakan bahwa Presiden Jokowi baik,” kata Mahfud, dalam keterangan tertulis, Senin malam, 5 Februari 2024. Mahfud mengungkapkan soal adanya operasi itu ketika berdialog di Yogyakarta dalam acara bertajuk “Tabrak Prof”.
Mahfud mengatakan ada beberapa rektor di perguruan tinggi yang membuat pernyataan pesanan dari pihak yang melakukan operasi khusus. Menurut dia, tak semua rektor mau ketika diminta membuat pernyataan tersebut. Salah satunya Universitas Soegijapranata di Semarang, Jawa Tengah.
“Dia (rektor) mengatakan diminta menyatakan pemerintahan Jokowi baik, pemilu baik, dan lain sebagainya,” ujar Mahfud.
Eks Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan itu mengatakan intervensi ke kampus-kampus bisa saja terjadi. Namun, kata dia, tak semua rektor di perguruan tinggi takut dengan tekanan itu.
Dia menjelaskan, hingga saat ini tercatat 59 perguruan tinggi menyatakan sikap akan mengawal pemilihan umum. Menurut dia, dukungan dari perguruan tinggi akan terus mengalir dalam mengawal Pemilu 2024 dan menyuarakan pemerintahan beretika. Semakin perguruan tinggi ditekan, kata Mahfud, gelombang gerakan semakin berdatangan.
Sebelumnya, dalam laporan Koran Tempo edisi Senin, 5 Januari 2024, polisi diduga menekan sejumlah petinggi kampus untuk membuat video yang berisi kinerja baik Jokowi dan Pemilu 2024.
Salah satu petinggi kampus yang disatroni adalah Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Semarang atau Unmus Hardi Winoto. Hardi mengaku kedatangan dua polisi yang memintanya untuk membuat video wawancara. Ketika akan memulai wawancara dia diberi secarik kertas contekan. Namun, Hardi menolaknya. "Ada naskahnya. Saya bilang tidak usah, bu. saya langsung saja," tuturnya kepada Tempo. Dia lantas memulai wawancara tentang pemilihan umum.
Setelah rampung, polisi tersebut kembali meminta wawancara. "Pak tambah boleh," ucap Hardi menirukan anggota polisi itu. Kali ini diminta menilai sejumlah program Presiden Joko Widodo. Hardi lantas mengomentari kinerja pemerintahan Jokowi saat pandemi Covid-19 melanda.
Hardi tak menyangka pada Jumat, 2 Februari 2024, ia mendapat kiriman tautan media massa serta link TikTok yang memuat materi wawancaranya dengan polisi itu. “Saya dikira mengarahkan ke salah satu pasangan calon (presiden),” kata Hardi.
Adapun dalam Laporan Koran Tempo edisi Selasa, 6 Januari 2024, Rektor Universitas Katolik Soegijapranata Kota Semarang, Ferdinandus Hindarto, juga bercerita diminta orang yang mengaku anggota kepolisian untuk membuat rekaman video. Video yang diminta adalah pernyataan tentang pemilihan umum dan kinerja pemerintahan Joko Widodo.
Dia mengaku dihubungi anggota polisi tersebut pada Jumat siang, 2 Februari 2024. "Saya dapat pesan Whatsapp dari seseorang yang mengaku dari Polrestabes Semarang instruksi dari Polda," kata Ferdinandus kepada Tempo, Senin, 5 Februari 2024.
Ferdinandus tak menanggapi permintaan tersebut. Polisi itu lantas mencoba meneleponnya. Namun, dia tidak menjawab. Dia juga dikirimi sejumlah contoh rekaman video dari beberapa pimpinan perguruan tinggi lain yang telah membuat.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Tengah Komisaris Besar Satake Bayu Setianto belum menanggapi konfirmasi tentang dugaan operasi anggota polisi tersebut.
Tempo juga telah berupaya mengonfirmasi dugaan tersebut ke Mabes Polri. Namun pesan kepada Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho belum direspons. Setali tiga uang, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko, juga tidak merespons permintaan konfirmasi Tempo.
JAMAL ABDUN NASHR | EKA YUDHA
Pilihan Editor: Petisi 'Tandingan' Kampus Kritik Jokowi, 17 Akademisi dan Alumni PTN PTS Sebut Demokrasi Sehat