TEMPO.CO, Jakarta - Budiman Sudjatmiko membantah isu bahwa dia gabung ke tim Prabowo-Gibran karena terlilit utang. Menurut Budiman, kalau motivasinya beralih dukungan karena uang, dia mengaku justru pernah ditawari uang dari kubu Ganjar-Mahfud.
“Mas tak kasih miliaran kamu balik lagi ke Ganjar,” kata Budiman kepada Tempo saat ditemui di Kawasan Palmerah, Kamis, 4 Januari 2023, menirukan orang yang mengaku dari kubu Ganjar Pranowo itu sembari menambahkan, “Kalau motifnya uang, saya makan. Saya tolak.”
Tak hanya itu, eks politikus PDIP yang sekarang menjadi Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran itu mengklaim dirinya juga pernah ditawari untuk menjadi calon anggota legislatif saat mengunjungi kediaman Prabowo di Kertanegara pada 18 Juli 2023 lalu.
“Dicarikan tempat dapil (daerah pemilihan) dan biaya kemenangan. Saya tidak tertarik nyaleg, saya tidak tertarik uang,” kata Budiman.
Sebelumnya, dalam wawancara dengan Majalah Tempo untuk edisi 1-7 Januari 2024. Budiman meminta jangan dikait-kaitkan dirinya mendukung Prabowo-Gibran karena uang. “Jangan Anda menembak Budiman dengan masalah uang. Tindakan politik saya tidak pernah dimotivasi uang. Saya dua kali menjadi anggota DPR, apakah punya rumah pribadi? tidak. Mungkin lebih kaya Anda,” kata Budiman seperti dikutip Majalah Tempo.
Sebelumnya, dalam laporan harta kekayaan Budiman ke KPK pada 2018 mencantumkan kekayaannya mencapai Rp 1,79 miliar. Di antaranya tanah dan bangunan seluas 187/250 meter persegi di Jakarta Timur.
Sementara itu, Budiman menyebut alasan memilih Prabowo untuk dia dukung dalam pemilihan presiden atau Pilpres 2024 adalah ada agenda lain yang lebih mendesak untuk diselesaikan. Menurut Budiman Indonesia butuh agenda hilirasi dan agenda Indonesia menjadi negara industri.
“Hal itu nggak bisa ditawar-tawar. Kalau saya pragmatis bisa saja ke partai besar. Saya sudah banyak berdiskusi dengan Ibu Megawati Soekarnoputri dan dikasih panggung,” kata Budiman.
Selain itu, Budiman menyebut sikap politiknya itu bukan pragmatis, tapi ideologis dan strategis. Eks Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik atau PRD itu menyebut dirinya dan teman-teman seperjuangannya tidak berjuang untuk menjadikan Indonesia negara liberal.
“Jadi setelah 25 tahun melewati demokrasi, agenda bangsa harus mengubah prioritas. agenda keadilan dan kemajuan harus ditempatkan di depan. Toh, tidak mengorbankan kebebasan. Kecuali kalau memang ada yang mau kembali ke otoritarianisme, itu kami tolak,” kata dia.
Pilihan Editor: Istana Tepis Isu Jokowi Berpihak di Pilpres 2024: Tetap Fokus Kerja