TEMPO.CO, Jakarta - Abdurrahman Wahid atau Gus Dur meninggal 14 tahun lalu, tepatnya pada 30 Desember 2009.
Gus Dur merupakan salah satu tokoh Tanah Air, ia bukan saja tokoh agama namun juga budayawan dan Presiden RI ke-4. Sepak terjangnya toleransi beragama banyak memberikan inspirasi kepada banyak orang. Berikut kilas balik profil dan perjalanannya semasa hidup.
Profil Gus Dur
Abdurrahman Wahid lahir di Jombang, pada 7 September 1940. Ia merupakan cucu dari seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy'ari. Ayahnya adalah KH A Wahid Hasyim yang pernah menjabat sebagai ketua Tanfidziyah NU ke-5. Tak hanya itu, ayahnya juga pernah menjabat sebagai menteri agama pada masa pemerintahan presiden Soekarno. Sementara itu, ibunya Hj. Sholehah merupakan putri dari seorang pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Pada awalnya ia lahir dan diberi nama Abdurrahman Addakhil, “Addakhil” sendiri memiliki arti “Sang Penakluk”. Karena nama Addakhil ini tidak cukup dikenal, maka digantilah kata itu dengan “Wahid” untuk kemudian ia lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.
Sebagai putra pertama dari enam bersaudara, Gus Dur banyak menimba ilmu dari pesantren di Indonesia dan pendidikan tinggi di beberapa negara seperti Mesir, Irak, dan Belanda. Meskipun demikian, menariknya Gus Dur tidak memiliki ijazah pendidikan formal dari perguruan tinggi manapun. Namun, Gus Dur berhasil membawa banyak gagasan asing ke dalam konteks Keindonesiaan.
Gus Dur banyak membawa berbagai jenis buku dari Arab dan Eropa ke Indonesia. Buku-buku inilah yang kemudian banyak menginspirasi bagi kalangan intelektual di sekitar dekade 1980 hingga 1990. Sepulangnya ke Indonesia, Gus Dur banyak membuat tulisan di berbagai surat kabar seperti Kompas, Tempo, dan majalah Prisma terbitan LP3ES, dan masih banyak lagi.
Di sisi lain, sejak tahun 1980-an, Gus Dur mulai masuk ke dalam dunia politik. Pada tahun 1984, Gus Dur bahkan terpilih menjadi ketua PBNU dalam muktamar yang dilaksanakan di Situbondo. Sejak saat itu, ia semakin aktif lagi dalam bidang politik. Salah satu aktivitas aktif yang dilakukan Gus Dur adalah mengkritik pemerintahan Soeharto yang menurutnya terlalu otoriter.
Pada Juli 1998, Gus Dur melakukan pembentukan partai politik yang disebut Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pembentukan partai politik ini mulanya dilakukan agar warga NU bisa menyampaikan aspirasi politiknya.
Kemudian pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya. Pada saat pemilu April 1999, PKB hanya meraih 12 persen suara, sementara PDIP memenangkan 33 persen suara. Meskipun kalah suara dari PDIP, Gus Dur berhasil terpilih sebagai Presiden RI ke-4 akibat suasana politik yang memanas pada saat itu.
Sebagai presiden, Gus Dur hanya memiliki masa kepemimpinan selama 21 bulan. Namun, dalam rentang waktu yang singkat itu, berbagai gebrakan telah banyak dilakukan oleh Gus Dur. Dalam rangka penghapusan diskriminasi, kala itu Gus Dur mencabut larangan perayaan Imlek yang berlaku selama hampir 30 tahun pada masa Orde Baru.
Selain itu, Konghucu juga diakui sebagai agama resmi pada masa kepemimpinannya. Gus Dur juga kembali mengubah nama Papua yang selama Orde Baru disebut “Irian Jaya”. Tak hanya itu, bendera bintang kejora juga diperbolehkan dengan catatan tidak lebih tinggi dari bendera Merah Putih.
Gus Dur menderita gangguan penglihatan sehingga sering kali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dilakukan oleh orang lain. Ia juga beberapa kali mengalami serangan stroke, diabetes, dan gangguan ginjal. Dikarenakan berbagai komplikasi penyakit yang dideritanya, Gus Dur akhirnya wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada 30 Desember 2009. Ia dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Makamnya hingga kini kerap dikunjungi para peziarah.
SHARISYA KUSUMA RAHMANDA I MOHAMMAD HATTA MUARABAGJA I DELFI ANA HARAHAP
Pilihan Editor: Terbentuknya Jaringan Gusdurian, Merawat Perjuangan dan Pemikiran Gus Dur