TEMPO.CO, Jakarta - Abdurrahman Wahid atau Gus Dur wafat 16 tahun silam pada 30 Desember 2006. Gus Dur merupakan salah seorang tokoh yang sangat dihormati di Tanah Air. Makam Presiden RI ke-4 yang terletak di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng , Jombang itu kerap dikunjungi banyak peziarah menjelang akhir tahun.
Sepak terjang Gus Dur telah banyak menginsiprasi orang, terutama terkait toleransi. Berikut rangkuman profil dari sosok yang dijuluki Bapak Pluralisme tersebut.
Mengutip laman NU, Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur pada 7 September 1940. Ia merupakan cucu salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama atau NU KH Hasyim Asy’ari dan putra KH A Wahid Hasyim yang pernah menjabat ketua Tanfidziyah NU ke-5 dan menteri agama di era presiden Soekarno. Ia adalah pertama dari enam bersaudara.
Baca: Putri Gus Dur: Kalo Aku Unggah Lelucin Ini, Diperiksa Nggak?
Gus Dur banyak menimba ilmu dari pendidikan pesantren di Indonesia dan pendidikan tinggi di sejumlah negara seperti Mesir, Irak, dan Belanda. Meskipun Gus Dur tidak memiliki ijazah pendidikan formal perguruan tinggi, ia berhasil membawa gagasan-gagasan asing ke dalam konteks Keindonesiaan.
Berbagai jenis buku Arab dan Eropa yang dibawanya ke Indonesia banyak dijadikan inspirasi oleh kalangan-kalangan intelektual NU pada dekade 1980-an dan 1990-an. Gus Dur juga kerap menuangkan pemikirannya dalam tulisan di surat kabar Kompas, Tempo, dan majalah Prisma terbitan LP3ES, dan sebagainya.
Sejak 1980-an, Gus Dur sudah mulai berkecimpung dalam dunia politik. Akhirnya pada 1984 ia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU dalam Muktamar yang diselenggarakan di Situbondo. Setelah menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Dur semakin aktif untuk bergerilya dalam kegiatan politik. Gus Dur juga vokal untuk mengkritik pemerintahan Soeharto yang dinaggapnya terlalu otoriter.
Melansir Media IPNU, pada Juli 1998 Gus Dur menanggapi pembentukan partai politik. Ini dilakukan agar warga NU bisa menyampaikan aspirasi politiknya. Partai tersebut diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya. Pemilu April 1999, PKB meraih 12 persen suara dan PDIP memenangkan 33 persen suara.
Pada 20 Oktober 1999, Sidang Umum MPR memilih presiden baru. Meskipun suara PDIP yang terbesar, namun Gus Dur yang terpilih sebagai Presiden RI ke-4. Di karenakan suasana politik yang memanas kala itu.
Masa kepemimpinan Gus Dur sebagai presiden RI hanya seumur jagung, yakni 21 bulan. Meski demikian, dalam rentang waktu yang singkat itu Gus Dur telah banyak melakukan gebrakan, utamanya terkait upaya mengentaskan diskriminasi.
Mengutip Majalah Tempo, Gus Dur ketika itu mencabut larangan perayaan Imlek yang berlaku hampir 30 tahun pada masa Orde Baru. Pada masa kepemimpinan Gus Dur, Konghucu diakui sebagai agama resmi. Gus Dur juga mengembalikan nama Papua yang selama Orde Baru disebut sebagai “Irian Jaya”. Bendera Bintang Kejora juga diperbolehkan dengan catatan tidak lebih tinggi dari Merah Putih.
Pengamat politik William Liddle dalam artikel berjudul “My Name is Abdurrahman Wahid” menggambarkan Gus Dur sebagai sosok pemuda nyeleneh dengan pikiran tajam yang tak nyaman dengan keyakinan dan praktik islam konvensional. Sikap nyeleneh itu terlihat ketika ia membela kelompok Ahmadiyah pada 2008. Kala itu pemerintah berniat meneken surat keputusan pembubaran kelompok tersebut.
Gus Dur menderita gangguan penglihatan sehingga sering kali surat dan buku yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang lain. Beberapa kali ia mengalami serangan stroke. Diabetes dan gangguan ginjal juga dideritanya. Karena berbagai komplikasi penyakit yang dideritanya, Gus Dur wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada 30 Desember 2009.
HATTA MUARABAGJA
Baca juga: Hari-hari Terakhir Gus Dur Dilengserkan, bercelana Pendek Sapa Pendukungnya
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.