TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum Bivitri Susanti menilai Undang-Undang Pemilu tak memadai untuk memproses temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK. Temuan itu mengungkap aliran dana kampanye terindikasi berasal dari tambang ilegal dan sumber lainnya, seperti penyalahgunaan fasilitas pinjaman Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Bivitri mengatakan, kerangka hukum UU Pemilu memang didesain untuk tidak efektif untuk menindak para peserta pemilu. Sebab, pihak yang membuat beleid itu adalah partai politik.
"Namanya UU yang bikin DPR sama pemerintah," ucapnya saat ditemui sebelum acara diskusi di Universitas Paramdina, Mampang, Jakarta. Selatan, Kamis, 21 Desember 2023.
UU Pemilu hanya atur soal laporan dana kampanye melalui 1 akun
Jika hanya menggunakan UU Pemilu dan Peraturan KPU, Bivitri mengatan para pelaku tidak akan terungkap. UU Pemilu, menurutnya, hanya mengatur perihal teknis. pelaporan dana kampanye melalui satu akun resmi. Akun ini yang akan diperiksa jika ada dugaan pelanggaran.
Padahal, menurut Bivitri, pada praktiknya tidak mungkin parpol hanya menggunakan satu rekening.
"Pasti rekening itu sebenarnya banyak cabangnya," ujarnya. Akun-akun juga bisa saling mengirim duit satu sama lain. Dia mengatakan tanpa dibuka PPATK, publik pasti tak akan mengetahuinya.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu mengatakan, pengusaha bisa juga memberikan bantuan dalam bentuk barang. Bivitri Susanti mencontohkan pembuatan kaos yang bisa mencapai Rp 1 miliar.
"Hal-hal kayak gitu kan susah dilacak," ujarnya.
Selanjutnya, temuan PPATK soal dana kampanye ilegal